Semalam di Mlangi

Harus kuakui betapa bersemangatnya empat muda-mudi yang kutemui tempo hari. Mereka menempuh puluhan kilometer mengendarai sepeda motor di tengah hari yang panas menyengat, untuk bertemu dan wawancara dengan beberapa orang, kemudian pulang lagi jelang tengah malam. Sungguh militansi yang patut diacungi jempol.

Jam setengah dua, aku sampai di Mlangi. Tepatnya di Masjid Jami’ Mlangi, salah satu dari empat masjid Pathok Negara kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Letaknya di seduah dusun di kabupaten Sleman, berjarak setengah jam dari pusat kota Jogja. Suasananya khas. Tak sulit untuk menuju lokasi ini. Dari ringroad barat, cukup masuk gerbang Mlangi dan lurus terus ke barat hingga mentok di masjid peninggalan Kiai Nur Iman. Di sanalah aku bertemu empat muda-mudi ini.

Mereka menyebut diri mereka sebagai Tim Pejuang Fakta; Imam, Isti, Syamsul, dan… Fina, ehm. Jauh-jauh datang dari Salatiga untuk menelusur pertalian nasab leluhurnya. Mereka memang sedang menggarap sebuah proyek biografi pendiri pesantren tempat mereka mengaji. Pondok Pesantren Madrasah Hidayatul Mubtadi-in (MHM) Kalibening, Tingkir, Salatiga. Dalam proses penelusuran ini, ternyata ada petunjuk yang mengarahkan mereka ke Mlangi, yakni ke sosok Mbah Kiai Nur Iman. Sosok yang semestinya menjadi pewaris tahta Mataram.

Maka mereka pun memutuskan untuk menyambung kaitan emosional, spiritual, dan intelektual dengan cara menziarahi peninggalan Mbah Nur Iman. Masalahnya, tidak ada kontak, relasi, atau apapun yang bisa mereka hubungi di Mlangi. Maka sebagai ‘orang Jogja’ yang kebetulan dilantik sebagai guide pada acara jalan-jalan ini, kuarahkan mereka kepada seorang kenalan, Mbak Ning Eva di Pesantren Ar-Risalah, namun baru bisa ditemui menjelang Maghrib.

Tim Pejuang Fakta ini awalnya kukira gerombolan mahasiswa yang sedang KKN sebab tampilan mereka; menenteng buku catatan, jeprat-jepret lokasi, dan memakai jas hijau dengan emblem almamater MHM. Yah, setidaknya cukup meyakinkan sebagai tim riset, tak sekedar orang plesir iseng-isengan. Hehe. Kutemui mereka di warung makan depan masjid selepas ziarah makam. Ternyata mereka memang serius menggarap proyek ini, bukan hanya dengan mengumpulkan literatur tertulis, tetapi juga wawancara dengan puluhan orang, serta sudah dan akan mengunjungi belasan kota untuk berburu data. Salut.

Sambil menunggu sore, kami pun putuskan untuk mewawancarai ketua takmir Masjid Jami’ Mlangi, Kiai Aban Ichwan, selepas Ashar. Bukan hal yang susah untuk menemukan beliau. Setelah shalat berjamaah, kami duduk santai di pendopo halaman masjid sebelah selatan. Suasana Masjid Jami’ Mlangi memang syahdu sekali. Ada sepasang pendopo di halamannya yang lumayan luas. Pintu masuk masjid dikitari kolam-kolam pembasuh kaki yang jernih. Di balik tembok putih tebal yang mengitari area masjid, terhampar pemakaman kraton, pemakaman warga, dan juga pemakaman sanak famili Mbah Kiai Nur Iman.
Bersama Kiai Aban di pendopo selatan Masjid Jami' Mlangi
Syamsul bertanya tentang perikehidupan Mbah Kiai Nur Iman. Dengan rendah hati, Kiai Aban mengatakan bahwa ia tidak ahli dalam urusan sejarah, maka tidak bisa memberikan jawaban. Kata beliau, orang yang paling paham tentang tetek bengek sejarah Mbah Nur Iman, mulai dari perjalanan hidup hingga jejaring kekeluargaan anak keturunan adalah Bapak Sri Pujo. Namun sayangnya beliau sudah wafat.

Namun bukan berarti wawancara mandek. Kami pun menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kapasitas beliau sebagai sesepuh dan pengurus masjid. Mulai dari tradisi ritual di masjid Mlangi hingga kondisi sosial masyarakat Mlangi.

Kiai Aban menjelaskan, bahwa sebanyak kurang lebih 450 kepala keluarga di Mlangi adalah anak keturunan Mbah Kiai Nur Iman. Sistem perjodohan antar keluarga yang dipraktekkan sejak dahulu menjadikan semua masyarakat Mlangi adalah saudara sebrayah. Hal ini menjadikan kultur sosial di Mlangi sangat khas dan kental dengan nuansa kekeluargaan dalam arti yang sebenarnya. Bukan hanya itu, Mbah Kiai Nur Iman juga sangat konsen mendidik anak keturunannya menjadi pribadi-pribadi saleh dengan keilmuan agama yang mumpuni. Sehingga tak heran bila banyak keturunan beliau yang kemudian menjadi ulama, bahkan hingga hari ini.

Di dusun Mlangi sendiri saat ini ada 13 pesantren yang berdiri, demikian tutur Kiai Aban. Ya, tiga belas! Hampir di setiap gang ada papan nama pesantrennya. Tentu saja lengkap dengan pemandangan para santri yang sedang mengaji di sana. Semuanya anak keturunan Mbah Nur Iman. Jika kita menelaah biografi para kiai sepuh di berbagai daerah pun, tak sedikit yang berhulu nasabnya ke Mbah Nur Iman Mlangi. Semisal Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Chudlori Tegalrejo, Mbah Asy’ari Kalibeber, Mbah Gunardo Parakan, dan masih banyak lagi.

Hal ini tak lepas dari peran Mbah Nur Iman di masa lalu yang memang lebih memilih berkiprah dalam dakwah ajaran Islam di Tanah Jawa. Meskipun secara nasab, Mbah Nur Iman yang bernama asal Raden Mas Sandiyo inilah yang semestinya menjadi putra mahkota Kerajaan Mataram Islam warisan Sultan Agung, namun beliau tidak berkenan dan melarutkan diri di tengah umat secara kultural. Adapun tahta kerajaan dipangku oleh adik-adik beliau, yakni Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi sultan pertama Yogyakarta dan Susuhunan Pakubuwono III yang menjadi pemimpin Surakarta pertama.

Akan sangat panjang jika kita membicarakan sejarah Mbah Nur Iman sejak ibu yang mengandung beliau dititipkan di Gedangan Surabaya hingga kiprah anak-murid beliau pada masa Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro. Namun yang kami ingin dengar adalah bekas yang ditinggalkan oleh Mbah Nur Iman, baik berupa situs material maupun kultur sosial.

Di Mlangi, kultur ngaji sangat mengurat nadi bagi masyarakatnya. Inilah warisan tak ternilai harganya yang dibangun oleh Mbah Nur Iman berabad-abad lalu. Sesuai dengan namanya, Mlangi, yang berasal dari ‘mulangi’, maka aktivitas ngaji di ‘pamulangan’ tak pernah sepi di sini. Tiap bakda Maghrib hingga Isya, anak-anak masuk ke pamulangan-pamulangan yang ada, entah di pesantren maupun langgar. Tidak ada televisi menyala di waktu itu, tabu hukumnya. Bahkan dulu, tutur Kiai Aban, ia kerap ‘nyamplong’ batu ke rumah warga yang menyalakan televisi selepas Maghrib. Di Masjid Jami’ Mlangi sendiri, yang buka 24 jam, digelar ngaji bagi masyarakat. Tiap bakda subuh ada pengajian tasawuf, Al-Hikam, sedangkan bakda Maghrib ngaji fiqh. Kecuali hari dan malam Jumat, libur. Itupun masih diisi dengan kegiatan solawatan atau manakiban.

Tradisi keagamaan yang diamalkan mulai zaman Mbah Nur Iman pun masih dilestarikan hingga kini. Semisal muludan, manakiban, solawatan, dan terutama pengajian. Masjid Jami’ peninggalan beliau hari ini diurus oleh takmir yang dibimbing oleh dewan kiai se-Mlangi. Sehingga corak keagamaan dan tradisi sosial yang baik di Mlangi tetap bisa bertahan di tengah perubahan Yogyakarta yang begitu pesat. Orang-orang Mlangi, menurut Kiai Aban, bukan tipe orang neko-neko. Hal ini dipengaruhi suasana relijius masyarakat yang memang sudah ayem tentrem. Misalnya dari sisi keamanan, tidak perlu ada siskamling. Namun untuk menemukan orang yang melekan, gampang sekali di sini. Bahkan kalau kita marker motor, misalnya, di depan rumah orang sampai tiga hari tiga malam pun tak akan bergeser posisinya.

Kami berlima kemudian diantar ke rumah Kiai Aban di utara masjid, komplek Pesantren Aswaja. Di ruang tamu kulihat ada logo Nahdlatul Ulama dan foto besar yang tak asing, almarhum KH Ali Maksum Krapyak. Dari beliau kami mendapat satu kopian pohon silsilah dan rekaman tertulis sejarah Mbah Kiai Nur Iman. Kami pun berpamitan dan menyempatkan diri untuk foto bersama beliau sebagai kenang-kenangan. Kemudian lanjut sowan ke kediaman Ning Eva di Pesantren Ar-Risalah, seratus meter dari gerbang masjid.
Tim Pejuang Fakta bersama Kiai Aban (atas) dan Gus Syukron (bawah)
Tak kunyana, sore itu secara tak sengaja aku bertemu seorang kawan lama. Teman kampus yang sudah hampir tiga tahun tak ketemu, ndilalah ketemu di sini, di Mlangi. Yik Duloh, begitu biasa aku menyapanya. Pemuda –dulu- kribo –tapi kini sudah cukur- yang sama-sama masih belum tuntas kuliahnya sepertiku. Kalau aku, sebab ambruk penyakitan. Kalau dia, sibuk ngalor-ngidul berwirausaha. Ternyata dia mukim di salah satu kamar Pesantren Ar-Risalah, tempat yang ndilalah juga akan kami tuju.

Empat muda-mudi kuantar ke gerbang ndalem Pesantren Ar-Risalah, untuk bertemu dengan sohibul bait yang memang sudah janjian sebelumnya. Sedangkan aku memilih masuk komplek asrama santri, rehat di kamar Yik Duloh sambil menunggu kawan-kawan selesai sowan. Ada sekitar enam puluh santri yang mukim di pesantren ini. Selepas Maghrib, lantunan nadzam Asmaul Husna disenandungkan. Selepas Isya, suara apsahan kitab mulai terdengar.

Selain bertukar kabar, ada banyak hal lain yang kuobrolkan dengan Yik Duloh. Semisal kondisi kampung santri Mlangi hari ini yang sudah agak berbeda dengan dahulu. Terutama dari sisi demografisnya. Juga tentang polemik perombakan masjid beberapa tahun lalu yang sempat memantik ketegangan antarwarga. Satu tema yang juga kami bicarakan ialah tentang kelambanan santri untuk tanggap dalam dunia nyata zaman sekarang, terutama dalam urusan pekerjaan dan nafkah. Tak sedikit santri yang menyamakan kondisi hari ini dengan zaman dahulu, yakni masa di saat santri pulang mondok langsung ketemu pacul dan lahan siap garap. Padahal zaman sudah berbeda. Betapa banyak santri hari ini yang kebingungan mau ngapain untuk memenuhi kebutuhan nafkah. Memang rejeki sudah ditanggung oleh Allah, namun ikhtiar sesuai zaman haruslah tetap optimal. Begitu katanya.

Hal ini, menurutnya, juga berlaku pada kawan-kawan mahasiswa. Tak sedikit kawan-kawan sarjana berijazah yang bingung urusan pekerjaan. Begitu dapat kerja, tak sesuai sebab gajinya kecil atau apalah. Semua itu, kata Yik Duloh, sebab kurang gaul. Bukan sebab ijazahnya yang nggak laku. Tetapi karena semasa kuliah atau dalam kehidupan nyata di luar kampus, si mahasiswa kurang bergaul luas di lingkungan, entah itu berupa organisasi, minat, ataupun pengabdian masyarakat. Aku ditanya tentang acara kami di Mlangi, kemudian Yik Duloh menganjurkan agar kami sowan ke dua orang yang mumpuni perihal informasi tentang Mbah Nur Iman. Yakni Pak Tamam, putra almarhum Mbah Sri Pujo yang sempat disinggung Kiai Aban, dan Habib Ahmad yang merupakan juru kunci makam Mbah Nur Iman.
Aku dan Yik Duloh, beberapa tahun lalu di pojok kampus saat Diskusi Santai Selingkar
Jam sembilan malam rombongan sowan keluar dari ndalem. Betah betul mereka. Kulihat ekpresi wajah-wajah sumringah, meskipun masih kumus-kumus karena belum mandi seharian. Terutama Fina. Hahaha. Kami berlima keluar dari komplek pesantren dan ngobrol sebentar di pendopo masjid bagian utara, membahas agenda selanjutnya. Rencana sowan ke Pak Tamam atau Habib Ahmad pun kami urungkan karena sudah terlampau malam, terlalu larut untuk bertamu. Lagipula saat itu juga akan digelar rapat Peringatan Isra Mi’raj di pendopo selatan, kemungkinan besar orang-orang yang akan kami sowani juga ikut rapat tersebut.

Tim Pejuang Fakta memutuskan untuk pulang ke Salatiga malam itu juga. Agenda sowan lebih dalam bisa dilanjutkan di kesempatan lain. Informasi yang mereka dapatkan dari keluarga Pesantren Ar-Risalah, yakni Ning Eva dan suaminya, Gus Syukron Amin, sudah cukup untuk diolah. Belum lagi ikatan emosional yang terbentuk di saat sowan, sudah cukup menyalakan api kekeluargaan setelah sekian lama tidak ada hubungan antara Mlangi-Salatiga.

Mereka berempat pun pamitan pulang. Sementara aku kembali ke asrama Ar-Risalah untuk istirahat. Pas jam sebelas malam, jam malamku yang memang masih sangat rentan ambruk jika kecapekan. Aku menginap di sana, pagi hari selepas subuh aku nyelonong keluar untuk sarapan. Lalu beranjak ke makam untuk ziarah lagi. Nampak beberapa santri putri nyeker memasuki gerbang masjid untuk ziarah, terlihat pula beberapa ibu nyai membawa cucu-cucunya mendoakan leluhur mereka di pemakaman. Seusai ziarah, aku pulang ke Krapyak.

Sehari itu aku melihat semangat anak-anak muda yang begitu merindukan leluhurnya. Sehari itu aku melihat kehangatan kekeluargaan dari orang-orang yang belum pernah berjumpa sebelumnya, yang diam-diam saling memendam rindu entah karena apa. Sehari itu aku melihat wajah-wajah yang merona sebab kangen yang terlampiaskan.

~
Jogja, 27 April 2016

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya