Media Sosial dan Kepunahan Urgensi

Berkali-kali muncul di beranda fesbukku foto muatan seseorang. Dominan dipenuhi wajahnya, dengan  latar belakang suatu tempat yang tidak begitu spesifik, dengan keterangan tulisan; “Lagi di kantor lama.”

Lalu muncul pertanyaan di kepala; “Lha apa perlunya aku atau orang lain di luar sana tahu tentang ‘Lagi di kantor lama’-mu itu?” Sedangkan muatan-muatan ‘remeh’ semacam itu bejibun banyaknya di media sosial. Membanjiri isi kepala kita setiap hari selama berjam-jam. Baik berupa gambar, tulisan, atau bahkan audio-visual. Seorang teman yang memutuskan off medsos pernah berujar, “Terlalu banyak hal yang tidak perlu kita tahu tentang orang lain bertebaran di media sosial. Parahnya, hal-hal itu justru diumbar oleh orang-orang itu sendiri. Belum lagi isu-isu baru yang tiap minggu berganti dan seakan-akan kita pun perlu mencari solusinya.”

Sejauh ini, sudah ada dua teman yang memutuskan off sama sekali dari medsos. Ponsel mereka canggih, akses internet mereka mudah, namun mereka memilih jalur radikal yang menurut mereka paling bermanfaat. Ada benarnya argumen yang diutarakan tentang pilihan mereka dan betapa wasting thought-nya media sosial. Namun aku tetap merenungkannya sendiri sebelum memutuskan sikap. Hingga akhirnya kusimpulkan satu hal sederhana, bahwa media sosial berperan besar dalam kepunahan urgensi.

Maksudku begini. Dunia maya (alam internet) itu seperti halnya dunia nyata. Ada ruang pribadi, ada ruang etalase. Ruang pribadi adalah tempat dimana kita menyimpan hal-hal pribadi sebagai dokumentasi, ibaratnya rumah dengan ruang tamu. Di situ ada album foto keluarga, ada file skripsi, surat tanah, ijazah sekolah, dan semacamnya. Orang yang bisa melihatnya hanyalah orang-orang yang kita ijinkan saja, yakni mereka yang datang bertamu. Ruang semacam ini diperankan oleh –misalnya- weblog, drive, picasa, fourshared, academia, atau lainnya.

Sedangkan media sosial adalah ruang etalase. Yakni suatu tempat dimana kita memajang hal-hal yang memang kita persilakan orang untuk melihat dengan suatu tujuan tertentu, terlebih ada anggapan bahwa hal tersebut diperlukan orang lain. Kalau boleh disederhanakan; media promosi. Entah promosi produk untuk jualan, promosi gagasan untuk propaganda, atau promosi gerakan sosial untuk memancing empati dan apresiasi. Atau, paling sepele, sebagai dokumentasi kegiatan-kegiatan bersama. Facebook, twitter, instagram, adalah media yang sangat pas untuk itu.

Ketika ruang pribadi dan etalase dicampur aduk, akan timbul ekses timbal balik yang negatif. Satu, orang bersangkutan turun wibawanya, tidak elegan, dan terkesan ‘murahan’. Dua, muncul ketidaknyamanan orang lain yang sebenarnya tidak begitu perlu tahu. Tidak bijak rasanya memosisikan diri kita semua sebagai seleb, yang semua sisi hidupnya memang sengaja dipajang di media sosial. Entah mukanya, tubuhnya, hubungannya, anak-anaknya, dan segala tentangnya. Karena memang itulah media promosi mereka.

Pada akhirnya kita jadi kehilangan urgensi, tak bisa memilah apa yang penting dan perlu untuk jadi asupan kepala. Mau tak mau kita disodor-sodori asupan yang sama sekali tidak urgen. Atau sebaliknya, kita menyodor-nyodorkan hal yang tak urgen untuk diketahui orang lain. Sehingga lambat laun keremeh-temehan ini menimbulkan ketagihan di alam bawah sadar, menumbuhkan rasa penasaran terhadap kehidupan orang lain yang sangat adiktif. Pun sebaliknya, ketagihan untuk mempertontonkan seluruh sisi kehidupan kita. Entah sepatu baru, menu makan, uban di kepala, atau malah problem keluarga.

Sore ini aku membaca tulisan yang sangat bagus di The Guardian. Bahwa orang-orang yang pernah terlibat dalam kreasi media sosial seperti facebook dan twitter memilih untuk tidak punya akun sama sekali. Salah satunya, Justin Rosenstin, orang yang menciptakan fitur ‘likes’ di facebook, nyatanya menghindari snapchat dan sangat membatasi fesbukan dengan hanya dua ribuan teman. Hmm, aku jadi tertarik untuk mengulas bagaimana gaya Mark Zuckerberg fesbukan. Kutulis lain kali.

Berbeda dengan kedua teman yang sudah off total dari media sosial, aku tetap mempertahankan akun media sosial dengan tujuan tertentu. Apa itu? Ya promosi. Mulai dari promosi gagasan pribadi, promosi gerakan sosial, dan tentu saja dagangan produk. Sedangkan konten-konten yang bersifat pribadi dan dokumentatif lebih kupilih blog sebagai medianya, itupun dengan tujuan agar bisa kuakses dengan mudah dimanapun, kapanpun dibutuhkan.

Krapyak 9 Oktober 2017

1 Comments

  1. Salam,
    Sebagai tambahan dalam kaitannya dengan konteks sosial media, pada zaman banjir informasi seperti sekarang ini, ada sebagian orang yang secara radikal memang memilih menutup sebagian akun sosmednya. Ada juga yang lebih memilih untuk tidak minggat dari dunia maya secara total; mereka adalah kelompok orang-orang yang berdasarkan produktivitas lalu memanajemen segala bentuk aktivitas sosial medianya. Nah, hal-hal semacam ini sudah menjadi issue tersendiri di barat, dan masih sedikit di dalam negeri. Salah satu yang bisa saya sebutkan untuk contoh dalam negeri adalah mas Darmawan Aji dengan dua bukunya Produktivity Hack dan Life By Design, atau sekelas youtuber barat yang juga kerap jadi kontributor di platform Patreon, Matt D'avella salah satu pegiat gaya hidup minimalis, gaya hidup tidak gandrung sosmed.

    Lutfi.

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya