Yang Lebih Ampuh dari Argumentasi

Oleh: Zia Ul Haq

Di alam yang penuh lempar tampar gagasan ini, kita memang perlu sinau seni berargumentasi. Setidaknya biar pendapat yang dikemukakan punya pondasi nalar yang kokoh. Bukan sekedar asumsi khayal dan giringan emosional belaka.

Pasalnya, menyusun dan menyampaikan gagasan yang argumentatif butuh asahan. Mulai dari membedakan premis dan kesimpulan, merangkai fakta-fakta, mencari diksi dan susunan yang efektif, menyajikan analogi, membatasi definisi, memainkan deduksi, hingga menyuguhkan argumentasi. Seperti yang dikemukakan Anthony Weston dalam buku kaidahnya, A Rulebook for Arguments.

Namun sayangnya, seni berargumentasi semacam ini tak berlaku bagi mereka yang malas berpikir. Apalagi jika sudah menidurkan nalarnya. Apalagi jika sudah kelenger empatinya. Maka ketika ia tak bisa menanggapi suatu argumen yang rapi, ia hanya mampu menghujat dan mencaci maki. Bahkan lebih parah, ia akan main pukul, ajak massa untuk mengeksekusi, atau sampai tebas leher biar mati.

Penyakit semacam itulah yang diidap geng ekstrimis manapun. Mereka menutup pintu dialog dan mementahkan semua argumentasi yang berseberangan cukup dengan satu kata: bunuh!

Masih sangat jelas bagaimana sosok ulama di Suriah dibantai ISIS tanpa ampun, sebab ijtihad yang tak sejalur. Lihat pula betapa banyaknya kasus eksekusi brutal sekelompok orang di Pakistan terhadap mereka yang dianggap kurang ajar ucapannya di media sosial. Tetap saja, meskipun terbukti ada penistaan, eksekutor hukumnya tetaplah pihak berwenang, bukan hakim jalanan.

Semoga fenomena bully dan teror mental yang menimpa seorang remaja tidak berkembang ke arah semacam itu. Ngeri. Saya masih berhusnudzon betul kepada teman-teman yang sering disalahpahami sebagai 'radikal' di negeri ini, bahwa merekalah yang akan menjadi penghadang terdepan jika ISIS nongol secara resmi. Merekalah yang akan menepis secara nyata ideologi brutal yang gampang melabel kafir dan menumpahkan darah itu.

Tetapi sayang, hal itu nampaknya susah tercapai bila anak-anak kecil saja sudah diajari yel-yel mengerikan; "Bunuh! Bunuh! Bunuh Si Ahok! Bunuh Si Ahok sekarang juga!"

Anda tentu ingat film Fitna yang sangat keji dan miskonsepsi itu. Betapa hebohnya umat Islam di berbagai penjuru dunia, bahkan tak sedikit yang bernafsu memancung pembuatnya. Belakangan beredar kabar baik bahwa kreator film tersebut, Arnoud van Doorn, telah memeluk Islam. Bahkan putranya, Iskander, mengikuti jejak sang ayah. Keduanya kemudian memiliki misi untuk memperkenalkan keagungan Baginda Muhammad dan melindungi hak-hak kaum muslimin di Eropa.
Arnoud van Doorn ketika melaksanakan ibadah haji.
Untungnya Arnoud hidup di Belanda, negara dengan tingkat kriminalitas rendah dan banyak penjara yang tutup sebab tak ada penghuninya. Tentu kemungkinan terjadinya hal semacam itu takkan ada jika ia hidup di Pakistan, sebab ia sudah pasti lebih dulu dibantai massa.

Terakhir. Dalam konsep agama kita, Islam yang mulia, ada satu hal yang jauh lebih efektif ketimbang argumentasi secanggih apapun. Yakni hidayah. Memang betul bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah, namun tak menutup pintu bagi kaum muslimin untuk membuka celah pintunya. Yaitu akhlak.

_____
Krapyak, Jumat Pon, 7 Ramadan 1438

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya