Hijrah Seutuhnya Mbah Jazuli Ploso

Oleh: Zia Ul Haq

Oh, itu foto Mbah Kiai Jazuli, Nak. Nama kecilnya Mas'ud, anak pejabat kecamatan di zaman Belanda, yang digadang-gadang bakal jadi pembesar negara di masa depan. Sebagai anak pejabat yang cerdas, ia bisa menikmati bangku sekolah umum mulai dari SR, MULO, HIS, sampai kuliah di STOVIA yang kini jadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Namun jalan takdir berkata lain. Seorang kiai sepuh waskita dari Kedunglo, Mbah Ma'ruf, melihat potensi dalam diri Mas'ud muda. Belum genap bulan, ia sudah disuruh pulang. Hijrah dari nuansa persekolahan modern ala Hindia Belanda menuju gothakan-gothakan pesantren khas Nusantara.

Tak terbayang apa yang dirasakan Mas'ud saat itu. Kukira sebagai anak muda, ia juga sempat menyalakan pelita cita-cita di hatinya untuk menjadi dokter. Kemudian atas titah guru orang tuanya, ia harus memadamkan itu semua.

Ia pun pulang kampung. Apakah semangat belajarnya padam? Tidak, Nak!

Petualangan ngaji Mas'ud muda dimulai dari guru ke guru. Tradisi mondok para kiai terdahulu adalah mencari guru yang alim dan ampuh, bukan mencari pesantren yang nyaman dan menjanjikan masa depan sebagaimana jaman sekarang. Dulu yang dicari adalah sosok, bukan tempat.

Mas'ud mulai mengaji kepada Kiai Ahmad Sholeh di Gondanglegi, fokus mengaji Quran, tajwid, dan nahwu selama enam bulan. Lanjut mengaji shorof dan memperdalam ilmu bahasanya di Sidoarjo selama setahun. Kemudian ngaji kapeda Kiai Abdurrahman di Sekarputih. Hingga sampai ke pesantren asuhan Kiai Zainuddin Mojosari.

Jangan bayangkan kehidupan yang enak seperti ukuran santri sekarang. Kiriman dari orang tua sangat sedikit. Setelah ayahnya wafat, Mas'ud muda musti mengais nafkah untuk biaya mondoknya. Jasa memaknai kitab adalah andalannya untuk bertahan hidup.

Setelah empat tahun mondok di Mojosari, Mas'ud berangkat haji ke tanah suci. Dahulu orang berhaji sekaligus mengaji. Mereka bisa mukim di negeri kelahiran Nabi selama bertahun-tahun. Sehingga ketika pulang sudah jadi ulama, selain bergelar haji. Sangat patut mengenakan surban dan jubah keulamaan.

Dua tahun Mas'ud mengaji di tanah suci kepada para ulama dan keturunan Nabi. Tahun 1922 terjadi perang saudara di sana, maka ia pulang ke tanah air dengan nama baru; Ahmad Jazuli -seperti nama penyusun kitab shalawat Dalailul Khairat yang ia bawa dari tanah suci.

Apakah setelah pulang berhaji Mbah Jazuli berhenti mengaji? Tidak, Nak.

Ia lanjut mengaji kepada Kiai Hasyim Asyari di Tebuireng, kali ini untuk mendalami hadits. Lalu diteruskan mengaji kepada Kiai Dimyathi di Tremas. Di sinilah ia memungkasi pengembaraannya dan kembali ke kampung halaman, Ploso Kediri.

Setelah bertahun-tahun mengembara dengan penuh keprihatinan, ia pulang. Akhir pengembaraannya ini menjadi titik awal perjuangannya. Berbagai macam halangan di tengah masyarakat ia hadapi, hingga menjadi sosok Kiai Jazuli yang harum namanya hingga hari ini.

Mbah Jazuli adalah teladan bagi para pemuda-pemudi hijrah masa kini. Agar hijrahmu utuh, Nak, maka harus didasari dengan semangat mengaji. Mulai dari bawah, merangkak bukan tiba-tiba berlari, menadah bukan buru-buru menceramahi, menghinakan diri sendiri bukan mengungguli dan merasa tinggi.

Ila hadhrati Mbah Kiai Jazuli, guru-gurunya dan keturunannya, alfatihah.

__
Kalibening 30 Oktober 2018. Foto: bersama Nak Khanin binti Khanan di ruang tamu Wa Ustadz Amin Ghozi, alumni Ploso 12 tahun.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya