Takbir Hening

Aku teringat anakku, Rayya, semalaman nangis tak karu-karuan, minta ditutup kupingnya. Kembang api meledak-ledak di angkasa. Menjadi penanda ramainya hari raya.


Aku teringat masa-masa ketika mercon masih sangat sederhana. Saat kembang api masih terlalu mahal untuk dibeli. Anak-anak lebih memilih main obor. Mereka bikin sendiri bledugan bambu berbahan minyak tanah dan karbit.


Aku teringat diriku sendiri yang cenderung menjauhi kebisingan beragama. Aku melipir dari suara pekak speaker langgar, bukan puji-pujiannya. Aku melipir dari suara disko hadroh modern yang terlampau ramai, bukan shalawatannya.


Aku teringat Kiai Ahmad Cikura yang selalu minta mikrofon dan speaker berkualitas terbaik untuk setiap pengajian rutinnya. Sehingga suara pembicara bisa empuk, pas, tidak kemresek.


Aku teringat tabuhan terbang Jawa santri-santri Giren yang syahdu bertalu-talu. Rancak tapi tenang, riuh tapi rendah. Juga irama gending-gending gamelan yang rendah hati dan bersahaja.


Aku teringat Kiai Zainal Krapyak yang mensterilkan wilayah masjid dari tetabuhan. Juga tak ada suara pepujian lepas adzan. Begitupun saat pengajian, beliau nampak tak peduli ada atau tidaknya mikrofon.


Aku teringat langgar Bumi Langit yang tak memasang speaker. Pak Is tak mau memasang pelantang suara di sana. Sebab alat itu berasal mula sebagai alat propaganda masa perang dunia kedua.


Aku teringat jamiyahan tahlilan dan manaqiban bapak-bapak kampung yang tak butuh pelantang suara. Juga momen muludan di langgar jaman dulu ketika hadirin begitu bersemangat koor shalawat, tak perlu ditodong mikrofon di depan mukanya.


Aku teringat video tiga jam pembacaan maulid Abuya Dimyati Banten tanpa mikrofon. Di ruang semacam langgar berbilik bambu, dipenuhi jamaah yang mengelilingi wadah-wadah air suwukan, bersahut-sahutan membaca shalawat nabi.


Mungkin begitulah nuansa masjid-masjid kaum muslimin zaman dulu. Mungkin begitu pula suasana takbiran di langgar-langgar para wali kita dahulu, sebelum kemudian diramai-semarakkan dengan pelantang-pelantang suara.


Mungkin aku rindu suasana semacam itu. Tetabuhan terbang dan gending yang sederhana. Langgar kecil dan suara koor hadirin yang bersahaja. Di tengah rimbun pepohonan dan dekapan malam. Takbiran yang biasa-biasa saja, hening, mengendap ke dalam sukma.




Selamat hari raya, Rayya.

Indonesia, 1 Syawal 1442

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya