Pantang Maido - KBQTDiary #68

Pantangan utama bagi pendamping belajar ialah maido anak. Maka tiap berinteraksi dengan anak, upayakan sekuat tenaga menahan nafsu maido. Begitulah piwulang yang selalu diulang-ulang Pak Din di Qaryah Thayyibah.

Padahal setahuku maido sangatlah lezat, rasanya sungguh nikmat sebagaimana dosa lisan lain seperti menggunjing dan mengumpat. Maka bagi amatiran sepertiku, ngempet maido ini betul-betul tidak mudah.

Bukankah sangat lezat maido bocah; "Tulisanmu ancur!" ketika melihat hasil liputan mereka yang amburadul. Bukankah amat nikmat maido bocah; "Lha kamu sih, malas!" ketika melihat tidak ada perkembangan proyek karya mereka setelah berminggu-minggu.

Maido berasal dari kata dasar paido. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini sepadan dengan kata mencela. Yakni mengungkit-ungkit cela, kejelekan, kekurangan, kesalahan, kekeliruan, atau keburukan sesuatu maupun seseorang secara langsung di hadapannya. Biasanya, perilaku maido ini berlaku dalam relasi kuasa yang timpang, semisal dari pemimpin kepada anggota, guru kepada siswa, majikan kepada pembantu, dan seterusnya.

Dalam khazanah ilmu akhlak, maido termasuk dalam fudhulul kalam; ucapan yang tak perlu. Meskipun yang diomongkan benar, faktual, tetapi sebenarnya tidak perlu diucapkan karena tidak berfaedah. Bahkan kepada makanan pun, Kanjeng Nabi mewanti-wanti kita untuk tidak mencelanya meski nyatanya memang tidak enak.

Apalagi kepada anak. Biarpun kenyataannya dia malas atau jelas-jelas melakukan kekeliruan, ya tidak perlu dicela di hadapannya. Hukuman sebagai konsekuensi atas kesalahan memang perlu, tapi mencela tidaklah perlu. Alih-alih memotivasi, celaan justru lebih banyak berimbas negatif. 

Gus Baha pernah mengisahkan perihal santri Sarang yang melanggar peraturan pondok. Karena pelanggaran yang ia perbuat cukup serius, konsekuensinya ia musti boyong. Ketika sowan Mbah Maimun selaku pengasuh, bukannya dipaido, si santri malah didhawuhi kira-kira begini;

"Peraturan Gusti Allah saja apabila kamu langgar, lalu kamu bertobat sungguh-sungguh, maka kamu jadi orang baik. Maka kamu jangan sungkan tetap sering ke sini, kamu tetap santriku. Peraturan pondok ya tetap peraturan yang harus ditaati. Kalau kamu melanggar ya memang harus boyong. Tapi kamu tetap jadi orang baik ya."

Belakangan, semakin bertambah usia, makin kusadari bahwa menjauhi maido ini tak hanya penting bagi pendamping belajar. Tetapi juga perlu diendapkan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat sehari-hari. Sebab ada tiga efek buruk maido yang sungguh membahayakan;

PERTAMA, menggelapkan hati. Sebagaimana dosa-dosa kecil lain, kebiasaan mencela bisa menyumbangkan noktah-noktah bagi jiwa sehingga jadi gelap dan pengap. Secara psikologi, kebiasan maido juga bisa menggiring alam bawah sadar kita untuk selalu fokus pada hal-hal negatif. Sebaik apapun orang atau keadaan, pikiran kita akan selalu mencari cela dan kekurangannya.

KEDUA, memupuk kebencian. Bagi orang yang dipaido, celaan-celaan yang ia terima bisa jadi bibit-bibit dendam. Ketika ia dalam posisi kuasa yang lemah, ia hanya akan memendam dendam. Jika ia sudah punya kuasa, maka ia akan membalas celaan itu dengan lebih ganas. Hal ini tertuang dalam Quran surat Al-An'am;

"Walaa tasubbul ladziina yad'uuna min duunillahi, fayasubbulLaha 'adwan bi ghoyri 'ilmin. Jangan kau cela orang-orang yang menyeru selain Allah, sehingga mereka akan balik mencela Allah dengan penuh permusuhan tanpa didasari ilmu."

KETIGA, memancing cobaan. Maksudnya, ketika kita maido orang, mencela keburukan atau kegagalannya meskipun ia memang buruk atau gagal, maka mungkin saja suatu saat kita akan dicoba dengan keburukan atau kegagalan semacam itu. Ada ungkapan begini:

NEVER SAY, "THAT WON'T HAPPEN TO ME." BECAUSE LIFE HAS A FUNNY WAY OF PROVING US WRONG!

(Jangan pernah bilang "Hal seperti itu takkan terjadi padaku." Sebab hidup punya cara yang sungguh lucu untuk membuktikan kita keliru!)

___

Tuwel, Bada Kupat, Syawal 1445

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya