Ijazahan Hadits Musalsal, Arbain Nawawi, dan Burdah

Istilah 'ijazahan' sangat masyhur di kalangan santri dan punya nilai mistis tersendiri. Sebab berkaitan erat dengan koneksi batin antara murid dan gurunya, terus berantai ke atas hingga Baginda Rasulullah 'alayhis shalatu was salaam. Entah berupa ijazah keilmuan maupun amalan-amalan.

Imam Suyuthi, dalam Al-Itqan, menyatakan bahwa ijazah adalah bukti pengakuan dan persaksian dari guru bahwa si murid adalah seseorang yang mahir dalam suatu ilmu tertentu. Sedangkan Imam Nawawi mendefinisikan ijazah sebagai proses pengambilan suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya.

Jumat (19/10/2017) lalu, para penghuni kos Wisma Abudabi ramai-ramai mengunjungi Pondok Pesantren Al-Muhsin di Krapyak Wetan, Yogyakarta. Saat itu, seorang ulama asal Mesir sedang berkunjung ke pesantren asuhan KH. Muhadi Zainuddin tersebut.

Beliau adalah imam dan khatib Masjid Jami' Al-Azhar, Kairo Mesir, Syaikh Muhammad Zakariyya Marzuq al-Husaini al-Azhari. Dalam kesempatan ini beliau menyampaikan wejangan yang sangat berharga bagi para dai. Karena memang momennya adalah 'Daurah Dai Sirah Nabawiyyah'.

Seorang dai, kata beliau, mustinya meneladani manhaj dakwah Rasulullah dengan mendalami sirah nabawiyyah. Tak ada satu momen dalam sejarah kehidupan Rasulullah yang tidak mengandung pelajaran mengenai dakwah. Salah satu pelajaran penting itu adalah; mulailah dari orang terdekat, yaitu keluarga. Kata beliau, tidak mungkin seseorang bisa efejtif berdakwah jika kondisi keluarga di dalam rumah tangganya sendiri kacau. Intinya, tak bakal seorang dai bisa menyinari dunia, sementara rumahnya sendiri gelap gulita.

Setelah penyampaian yang begitu mencerahkan selama hampir satu jam, Syaikh Zakariya memberikan ijazah beberapa kitab dasar yang biasa menjadi pegangan para dai. Yakni kumpulan empat puluh hadits, Al-Arba'un an-Nawawiyyah, yang mana beliau merupakan rantai ke-15 hingga penulis kitab, Imam Nawawi. Dalam pengijazahan kitab Arbain ini, beliau membacakan satu hadits ke-21 di dalam kitab tersebut, yakni tentang perintah istiqamah,

عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ: أَبِي عَمْرَةَ سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ. قَالَ : قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ. رواه مسلم

Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan- : Abu ‘Amrah, Sufyan bin Abdillah at-Tsaqafi radhiallahuanhu dia berkata, "Aku berkata; 'Wahai Rasulullah, sampaikan padaku tentang Islam sebuah perkataan yang tidak kutanyakan kepada seorangpun selainmu.' Beliau bersabda; 'Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian berpegang teguhlah (istiqamah; konsisten)." [Riwayat Imam Muslim]

Diijazahkan juga kitab sirah nabawiyyah singkat, Khulashah Nurul Yaqin, serta kitab tauhid dasar, Aqidatul 'Awwam. Selain itu, beliau juga mengijazahkan tiga hadits musalsal. Yakni hadits yang periwayatannya dilakukan di waktu tertentu, atau dengan sifat perawi tertentu, atau dengan perilaku tertentu dari para perawinya secara berkesinambungan.

Pertama, hadits musalsal bi al-Awwaliyyah. Yakni hadits yang merupakan hadits pertama kali yang didapatkan oleh perawinya dari penyampai hadits. Dan bukan suatu kebetulan bahwa kandungan hadits ini berkaitan dengan kasih sayang penghuni langit dan bumi. Yaitu;

حَدَّثّنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي قَابُوسَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللَّهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amr bin Dinar dari Abu Qabus dari Abdullah bin 'Amr, ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), berkasihsayanglah kepada siapapun yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan mengasihi kalian. Lafazh Ar-Rahim (rahim atau kasih sayang) itu diambil dari lafazh Ar-Rahman, maka barang siapa yang menyambung tali silaturrahmi niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya), dan barang siapa yang memutus tali silaturrahmi maka Allah akan memutusnya (dari rahmat-Nya)." [Riwayat Imam Turmudzi, berkata Abu 'Isa: Ini merupakan hadits hasan shahih].

Kedua, hadits musalsal bi yawmi 'Asyura. Yakni hadits berisi keutaman puasa di hari Asyura. Sebenarnya, ciri khas hadits musalsal yang berkaitan dengan hari adalah bahwa penyampaiannya khusus di hari tersebut. Misal hadits musalsal bi yaumil 'Ied, ya disampaikan pada hari Idul Fitri. Begitu pula hadits musalsal bi yaumi 'Arafah. Namun dalam kesempatan ini, Syaikh Zakariya tetap mengijazahkan kepada kami meskipun tidak berada di hadi 'Asyura. Yaitu;

عن أبي قتادةَ قال: إنَّ النَّبيّ صلى الله عليه وسلم قال: وصِـيَامُ يوم عاشُوراء، إنّي أحتَسِبُ عَلَى اللهِ أن يُكفِّر السَّنة التي قَبْلَهَا.

Dari Abu Qatadah, ia berkata, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Dan (mengenai) puasa hari Asyura, sesungguhnya aku mengharap kepada Allah agar mengampuni (dosa dan kesalahan) setahun sebelumnya." [Riwayat Imam Muslim]

Ketiga, hadits musalsal bi al-Mahabbah. Yakni hadits yang mana pihak penyampai hadits tersebut menyatakan rasa cinta kepada pihak yang mendapatkan haditsnya. Sebagaimana dahulu Rasulullah menyampaikannya kepada perawi pertama. Yaitu;

عن معاذ بن جبل ان النبي صلى الله عليه و سلم قال له يا معاذ اني والله لاحبك فلا تدع دبر كل صلاة ان تقول اَللّهمَّ اَعِنِّيْ عَلىَ ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ أَخْرَجَهُ أَبُو داود والنسائي وصححه ابن حبان والحاكم

“Dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Wahai Mu’adz, demi Allah aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah kamu tinggalkan setiap selesai shalat untuk berkata: Allahumma a'innii 'alaa dzikrika wa syukrika wa khusni 'ibaadatik (Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu)." [ Riwayat Imam Abu Dawud]

Terakhir, beliau juga mengijazahkan rangkaian syair pujian (madah) kepada Baginda Rasulullah karya Imam Muhammad bin Sa'id al-Bushiri yang berjudul Kawakib ad-Durriyyah fi Madhi Khairil Bariyyah, lebih terkenal dengan nama Burdah. Dalam pengijazahan ini, Syaikh Zakariyyah memimpin kami menyenandungkan satu pasal terakhir dari Burdah. Yakni pasal yang berisi istighatsah, doa, dan penutup.

Sejak saat itu, kami para penghuni kos-kosan wisma Abudabi wetan Kandang Menjangan yang menghadiri ijazahan tersebut, sepakat menjadikan pasal terakhir Burdah sebagai bacaan penutup pada rutinan Malam Sabtu. Momen rutinan ini kami manfaatkan untuk kongkow dengan masak bareng, zikir dan mendoakan orang tua, serta ngobrol santai berkaitan tema keagamaan atau warta-warta kekinian.

Sejak masuk baligh, entah sudah berapa kali aku ikut ijazahan. Baik saat ngaji rutin, sowan, atau momen khusus. Paling banyak memang ijazah amalan-amalan di momen-momen pengajian umum. Sebab jika ijazah keilmuan, berupa ijazahan kitab-kitab lengkap dengan sanad keguruan, biasanya hanya digelar di lingkungan santri saat tuntas masa belajar di pesantren, atau bagi para pengajar ilmu-ilmu agama dalam momen-momen tertentu.

Ada beberapa momen ijazahan amalan yang berkesan bagiku. Pertama, ijazahan syair munajat yang begitu syahdu karya Syaikh Ahmad bin Athaillah as-Sakandari dan syair munajat Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad. Uniknya, dua ulama besar ini sama-sama memiliki karya berjudul Al-Hikam. Ijazahan ini kudapat saat pengajian Jumat Kliwon di Pondok Pesantren Attauhidiyyah Cikura Bojong Tegal, dari al-'arif billah KH. Ahmad Sa'idi.

Kedua, ijazahan doa Birrul Walidayn karya Syaikh Abu al-Hubb al-Hadhrami dari Habib Muhammad Qasim di Majlis Ta'lim Al-Hikmah, dan ijazahan Ratib al-'Atthas dari Habib Soleh bin Ali al-Atthas di Majlis Ta'lim Nurul Hidayah. Kedua majlis ini berlokasi di desa Giren, Talang, Tegal. Ketiga, ijazahan kitab kumpulan zikir dan doa ma-tsurat Khulashah al-Madad al-Nabawiy dari penyusunnya, yakni Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, saat rauhah di Pondok Pesantren Al-Fachriyyah, Ciledug Tangerang Selatan.

Keempat, ijazahan hadits-hadits Shahih Bukhari yang ditalqinkan setiap Senin malam Selasa di Masjid Al-Munawwar Pancoran oleh almarhum Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa. Setiap majlis dibuka, seluruh jamaah akan mendapat selarik kertas berisi satu hadits beserta terjemah. Kemudian hadits itu dibaca oleh Habib Mundzir dan ditirukan jamaah, lalu beliau menerangkan isinya panjang lebar. Satu kesempatan majlis satu hadits.

Kelima, ijazahan zikir dan doa mujahadah Ihsaniyyah dari almarhum KH. Abdul Lathif bin Muhammad bin Ihsan Jampes, yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Keenam, ijazahan Hizb al-Bahr susunan Imam Nawawi dan Hizb al-Jailani susunan Syaikh Abdul Qadir Jailani oleh KH. Ubaidillah Hamdan saat pengajian malam Jumat di Pondok Pesantren Darul Musthafa al-Mukhtar, Pondok Aren, Tangerang Selatan.

Ketujuh, ijazahan rangkaian mujahadah berupa tawassul fatihah dan shalawat Ismul A'zham dari guru kami, al-muqri' KH. Muhammad Najib bin Abdul Qodir bin Munawwir, saat mujahadah Selasa Wage di aula Madrasah Huffazh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Kulon, Yogyakarta. Kedepalan, ya ijazahan yang kuhadiri bersama penghuni kos-kosan Abudabi. Semoga kami, para hamba hina dina ini, diperjalankan oleh Allah agar bisa istiqamah mengamalkan semampunya, dan tercatat sebagai pendherek para ulama pewaris Nabi. Aamiin.
__
Krapyak, Jumat, Hari Pahlawan 28 Oktober 2017.

1 Comments

Sebelumnya Selanjutnya