Program Baca Kitab Gundul Untuk Pemula

@ziatuwel

Pagi ini, selepas pengajian Ihya, Pakde Yai Abda Abdul Malik mengumpulkan semua santri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin di masjid. Beliau menyampaikan beberapa maklumat terkait kegiatan pesantren. Pertama, tentang kebijakan penggunaan hape bagi santri. Kedua, tentang program musyafahah atau sorogan kitab.

Penggunaan hape tak bisa dihindari di masa milenial ini, sekalipun bagi santri. Beliau menyebutnya sebagai 'godane zaman'. Jika dulu zaman beliau mondok ada godaan berupa remi dan catur yang mampu melalaikan santri sehingga malas belajar, kini ada hape yang berisi medsos dan segala jenis permainan melalaikan. Sama saja, katanya.

Bedanya, jika kartu remi murni sebagai alat permainan, sedangkan hape pada dasarnya adalah alat telekomunikasi dan informasi yang dibutuhkan. Maka perlu ada kebijakan khusus terkait penggunaannya. Santri boleh membawa hape, namun wajib menyerahkannya kepada pemandu atau wali kamar mulai masuk waktu Ashar sampai keesokan hari selesai ngaji bakda Shubuh.

Pemandu inilah yang ditugasi mendampingi kegiatan santri-santri yang dipandunya. Ada 20 pemandu yang masing-masing memandu 4-5 orang santri. Mereka juga bertugas menyimak sorogan santri-santri panduannya sesuai jatah kitab. Sorogan ini disebut 'musyafahah', penyimak sorogan disebut 'musyafih', santri yang sorogan disebut 'musyafah'.

Ada sorogan kitab Taqrib, Fathul Qarib, dan Fathul Mu'in. Sorogan dilaksanakan tiap Ahad pagi di masjid secara bersamaan. Adapun para musyafih sendiri sorogan langsung kepada kiai tiap malam Ahad di ndalem. Program sorogan ini dimaksudkan agar para santri terlatih dan terbiasa baca kitab gundulan.

Idealnya, menurut Pakde Yai, seorang santri tak perlu lagi ngapsahi di jenjang Fathul Qarib. Santri tingkat ibtida bolehlah ngapsahi kitab secara penuh, tapi ketika sudah masuk jenjang tsanawi mustinya apsahannya sudah berkurang. Apalagi aliyah, pantasnya ya sudah lancar gundulan. Hal ini bisa dicapai hanya dengan cara sorogan secara intensif. Gagasan Pakde Yai ini mengingatkanku kepada Pak Arif.


Beberapa hari lalu aku ketemu Pak Arif Hidayat, salah seorang wali murid Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah. Beliau alumni Matholi'ul Falah Kajen dan Al-Azhar Kairo, penggagas Pesantren Virtual dan pernah menjadi guru bahasa Arab di beberapa sekolah. Kami mengobrolkan ide beliau tentang kelas online kursus baca kitab gundul untuk pemula.

Pak Arif menyusun satu metode khusus bernama Al-Hidayah, yakni cara intensif bagi pemula yang betul-betul nol bekal untuk bisa membaca kitab gundulan dalam waktu enam bulan. Selama ini metode tersebut baru diterapkan secara offline pada anak-anak TPQ di lingkungannya, dan ternyata memang sukses. Maka beliau bermaksud menyebarluaskan metode ini melalui kursus online, sesuai perkembangan zaman.

Ada banyak metode baca kitab yang kutahu. Dulu aku pernah ikut ijazahan metode Amtsilati dari penyusunnya, Kiai Taufiqul Hakim Jepara. Ada juga metode Thariqati dengan program tiga puluh jamnya. Ada lagi metode Ibtidai, ada pula metode Al-Mu'allim, juga ada Metode 33 rumusan Kiai Habib Abdussyakur Krapyak. Semua punya daya tawar khasnya masing-masing. Namun memang perlu digarisbawahi bahwa metode baca kitab paling efektif adalah yang paling intensif dalam praktek baca kitab itu sendiri.

Bukan suatu hal yang tabu untuk mengakui bahwa banyak kawan santri yang tidak bisa baca kitab gundulan. Mereka hanya bisa baca kitab yang pernah diapsahi/dimaknai thok. Ketika disodori kitab gundul, apalagi yang belum pernah dikaji di pesantren, mereka angkat tangan atau keteteran. Bahkan kadang tak tahu bagaimana mencari kosakata baru dari kamus.

Tentu ini jadi keprihatinan tersendiri, apalagi jika si santri sudah bertahun-tahun mondok. Padahal kompetensi kognitif santri mustinya adalah kemampuan membaca kitab. Maka tak heran jika metode baca kitab justru lebih laris di kalangan santri sendiri, bukan kalangan awam. Beberapa tahun lalu Santrijagad pernah berkongsi dengan program Amtsilati di Pesantren Miftahul Falah Kendalserut. Menurut penuturan pengampunya, semua peserta program ini justru adalah alumni pesantren.

Metode yang ditawarkan Pak Arif lebih menekankan praktek. Maka dalam teknis belajar metode ini Pak Arif langsung menggunakan satu judul kitab tertentu. Kriteria peserta metode ini minimal sudah bisa membaca Quran atau tulisan Arab dengan benar. Tidak perlu ada dasaran ilmu Nahwu maupun Shorof. Langsung dibimbing praktek membaca kitab dari awal sampai khatam.

Kitab yang digunakan adalah Tijan Darori, kitab akidah susunan Syaikh Ibrahim al-Bajuri yang cukup ringkas dan padat. Cocok digunakan untuk latihan baca kitab. Teknisnya, peserta akan dibimbing membaca kitab tersebut secara sorogan ala pesantren dengan bahasa Jawa (utawi iki iku), atau bahasa Indonesia, atau bahasa Inggris, tergantung pilihan peserta. Pada awalnya, pembacaan akan penuh apsahan, mulai ke tengah mulai berkurang, sampai ke akhir kitab sudah tak butuh apsahan sama sekali. Sehingga pada akhir program, si peserta sudah bisa membaca kitan Tijan tersebut secara gundulan.

Setelah rampung belajar baca kitab Tijan, peserta belajar cara menemukan kosakata baru dari kamus. Setelah mahir, ia dibimbing membaca kitab lain dalam fan ilmu lain, misalnya Taqrib Abu Syuja (fikih). Kebiasaan yang sudah ia dapatkan saat berlatih baca Tijan terimplementasikan secara otomatis saat bertemu kitab baru. Kali ini peserta tinggal mencari arti kata baru yang tidak ia temukan sebelumnya di kitab Tijan melalui bantuan kamus. Begitu seterusnya sampai khatam Taqrib. Latihan bisa dilanjutkan ke kitab lain dalam fan lain, misalnya Bidayatul Hidayah (akhlak) sampai peserta betul-betul terbiasa baca kitab gundul.

Pak Arif menawarkan padaku untuk membuat semacam kelas online metode ini. Ia terinspirasi banyaknya kelas bahasa Arab online yang sudah ada, namun belum ada yang intensif ke pembacaan kitab gundul. Semuanya hanya berupa penyampaian materi tanpa sorogan langsung. Adapun Pak Arif menyanggupi untuk meladeni sorogan satu-satu selama enam bulan dan menjamin kemampuan baca kitab mendasar.

Aku tertarik dengan tawaran Pak Arif. Pasalnya, setahuku belum ada juga kursus baca kitab kalangan santri yang dilakukan secara online. Semuanya masih offline temu darat, berupa seminar atau diklat di satu lokasi, atau pelatihan selama beberapa waktu di tempat tertentu. Tentu saja program temu darat model diklat tidak bisa memantau perkembangan peserta kursus secara intensif dari waktu ke waktu. Model pelatihan di tempat tertentu juga jadi kendala bagi mereka yang terbatas waktu dan jarak. Sedangkan bila menggunakan metode online, peserta bisa terus mengasah kemampuannya di bawah bimbingan pengampu secara langsung, tanpa dibatasi kendala geografis.

Kurasa enam bulan berlatih intensif secara online bukan waktu yang lama, jika dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh untuk seumur hidup. Kusarankan kepada Pak Arif untuk mematangkan konsepnya lebih dulu. Terutama bagaimana teknis sorogan online agar bisa efektif dan efisien.

Kuusulkan juga agar metode sorogan online ini diujicobakan kepada beberapa peserta dari kalangan kenalan dekat. Misal kepada anak-anak Qaryah Thayyibah yang berminat. Sehingga terbukti efektivitasnya. Kuusulkan juga agar Pak Arif tetap memperkuat basis offline. Kutawarkan kepada beliau agar mengisi metode ini di Madrasah Hidayatul Mubtadiin sebagai ekstrakurikuler bagi anak-anak tingkat ibtidaiyah.

Sebagai pengajar kelas enam ibtida, kulihat anak-anak masih belum bisa ngapasahi kitab dengan sesuai, apalagi membaca gundulan. Akan sangat istimewa jika metode Pak Arif bisa diterapkan dan anak-anak usia ibtida sudah sanggup baca kitab gundulan. Tentu hal ini bisa jadi rekam jejak positif dan pembuktian metode Al-Hidayat, sekaligus jadi program unggulan bagi Pusat Bahasa yang sedang dibangun di Pesantren Hidayatul Mubtadiin Kalibening.

___
Salatiga, 30 Juni 2019

1 Comments

Sebelumnya Selanjutnya