Kegalauan Guru Sekolah Swasta Mahal - KBQTDiary #40

@ziatuwel

Sudah beberapa tahun aku tak ketemu Mujib, kawan ngobrol selama di Jogja dulu. Saat masih ngekos dulu kami sering berbincang tentang pendidikan. Dia sering mengutarakan kegalauannya sebagai kepala sekolah sebuah sekolah dasar swasta. Tempo hari dia mengabariku mau ketemu, main ke Qaryah Thayyibah.

Dari Semarang, Mujib hendak menuju Solo dan menyempatkan mampir di Salatiga. Dia ingin berbincang denganku tentang prinsip dan praktik belajar di KBQT. Sebelumnya dia sudah ikut menjadi fasilitator belajar di Sanggar Anak Alam Jogja, tempat yang dulu kurekomendaskan padanya untuk sinau.

Kebetulan hari Senin itu Pak Din sedang ada di rumah. Ada pula Pak Jono, salah satu pendamping senior di KBQT. Kuajak Mujib ngobrol dengan para senior praktisi pendidikan alternatif itu. Obrolan cepat nyambung sebab mereka sudah berada pada frekuensi yang sama; semangat pendidikan merdeka.


Mujib bercerita betapa galaunya ia selama ini. Bagaimana kapitalisasi pendidikan begitu terasa di lembaga yang ia pimpin. Praktiknya adalah pendidikan transaksional. Ada uang ada layanan. Belum lagi pengelolaan ala perusahaan yang menggencarkan branding, kelengkapan fasilitas, dan kenyamanan pelanggan.

Rata-rata murid di sana berasal dari kaum elit secara ekonomi. Untuk masuk ke sekolah dasar ini, pendaftar musti membayar 15 juta rupiah. Saat kuota murid sudah penuh, pernah ada orang tua yang memaksakan anaknya masuk sambil menawar, "Mau berapa? Saya bayar!"

Gila.

Watak penitipan anak sangat mengakar di benak wali murid. Posisi mereka sebagai customer yang harus dilayani. Bukan sebagai partner seimbang bagi pihak sekolah dalam rangka mendidik anak-anak mereka. Belum lagi watak para siswa yang terlahir hedon. Ada anak yang kaos kakinya jatuh, kotor, lalu dibuang begitu saja dan ganti kaos kaki baru.

Gila.

Ada anak yang uang sakunya sebulan sampai 24 juta rupiah. Hingga suatu kali saat Mujib berhasil menasehati anak itu, kemudian nominalnya jadi turun, si orang tua sampai sujud syukur. Anak yang dulunya habis 24 juta sebulan sekarang bisa 'irit' dengan hanya menghabiskan 7 juta sebulan.

Gila.

Pernah dalam suatu kegiatan, anak-anak makan bersama. Kemudian seorang guru menyuruh anak-anak mencuci peralatan makan yang sudah digunakan. Esoknya, salah seorang wali murid datang memprotes. Ia mencak-mencak sambil menggerutu, "Saya bayar mahal sekolahkan anak saya di sini bukan untuk menjadi babu ya, Pak!"

Gila.

Kondisi semacam ini menggugah keresahan Mujib. Sebagai pendidik yang masih memiliki nurani dan idealisme pendidikan, ia kuatir praktik persekolahan semacam itu tidak bukannya bermanfaat, malah mudharat. Ada tanggung jawab moral sebagai pendidik yang ia tanggung.

Anak-anak itu kelak bakal jadi tokoh di tengah masyarakat, atau orang berposisi, sebagaimana orang tua mereka. Mujib tak mau mereka menjadi tokoh dengan mental semacam itu. Ia ingin memperbaiki generasi melalui lembaga pendidikan, bukan sekedar makan darinya.

Pak Din menanggapi curhatan Mujib dengan santai. "Begitulah kalau kebodohan sudah sampai menembus perbatasan galaksi," kata Pak Din sambil terkekeh. Yang ia maksud dengan kebodohan tentu praktik kapitalisasi pendidikan sebagai kegiatan transaksional. Ia menyarankan Mujib untuk tetap memberikan pelayanan seprima mungkin kepada 'pelanggannya'.

Tinggal bagaimana guru-guru di lembaga formal mau berinovasi dalam proses pembelajaran. Banyak guru formal yang galau seperti Mujib, bahkan mereka ingin keluar saja. Namun Pak Din tidak sepakat dengan keputusasaan itu. Sebagai anggota Badan Akreditasi Nasional, Pak Din optimis, cepat atau lambat nuansa pendidikan formal akan berubah, menyusul reformasi yang sudah terjadi di lingkungan pendidikan nonformal.

Guru-guru di lembaga formal tetap bisa mempraktikkan prinsip pendidikan alternatif di lingkungan sekolahnya. Bagaimana mengajak anak-anak berpikir kritis, menemani mereka berkarya secara mandiri, membuka mata mereka terhadap realita sosial di sekitarnya. Guru-guru muda, khususnya ASN, harus kreatif dan inovatif, sehingga bisa mempraktikkan pendidikan merdeka di lingkungan sekolah formal. Apalagi mereka dibayar dan tidak perlu memikirkan biaya hidup layaknya honorer atau pendamping KBQT seperti kami.

Pak Jono mengiyakan saran Pak Din. Sebagai pensiunan guru SD, ia mendukung penuh idealisme Mujib, guru muda berintegritas yang hendak menempuh jenjang doktoral bidang pendidikan itu. Pak Jono memberikan dua opsi solusi bagi Mujib. Satu; membuat kelas alternatif di sekolahnya untuk menyalurkan idealismenya. Atau dua; memprioritaskan program-program ekstrakurikuler daripada intrakurikuler.

Pak Din punya opsi ketiga. Katanya, "Buat saja sanggar kreatif di luar lingkup sekolah yang bisa berintegrasi dengan sekolah. Apalagi jika bisa kerja sama dengan lingkungan sekitar."

Mujib nampak sepakat dengan ide itu. Ia sudah pernah berbincang dengan para pemangku kuasa wilayah setempat. Mereka minta agar sekolahnya bisa berkontribusi dan berkolaborasi dengan lingkungan. Namun belum ada titik temunya. Ide sanggar itu bisa jadi solusi.

Ia juga sudah mengupayakan pendekatan terhadap wali murid untuk mensinkronkan idealismenya tentang pendidikan. Ia mempraktikkan hari bersih sampah di hari Jumat, di mana anak-anak bersama wali murid mereka 'memulung' sampah dari rumahnya ke sekolah. Ternyata hal ini berhasil menggugah kepekaan sosial dan kesadaran lingkungan mereka. Pendekatan-pendekatan samacam itu akan terus ia lakukan. Sambil secara perlahan menghembuskan jiea pendidikan kritis, realistis, peka, dan merdeka di lembaga yang ia pimpin.

Dua jam lebih kami ngobrol. Tepat jam dua siang Mujib pamit. Ia juga menunjukkan beberapa draft buku yang sedang ditulisnya. Salah satunya buku tentang praktik pendidikan alternatif. Selama ini ia berkeliling lembaga-lembaga pendidikan alternatif dalam rangka menampung inspirasi, sekaligus menuntaskan bukunya itu.

Di sela kesibukannya sebagai kepala sekolah, ia masih sempat menulis buku. Hingga hari ini sudah 35 judul buku yang sudah terbit. Brengsek, produktif sekali. Apalagi ketika dia menunjukkan draft buku Nahwu sufistis, terjemah atas kitab karya Al-Kuhaini yang juga sedang kugarap dengan judul Nahwu Sufi. Brengsek betul, aku disalip. Hahaha.

___
Kalibening, Senin, 16 September 2019

1 Comments

  1. Sama seperti yg saya rasakan kemarin. Saya galau karena saya seperti berada di tengah praktik kapitalisme pendidikan. Padahal tempat saya bekerja basicnya Islam. Seperti tidak sejalan dua dasar itu. Ditambah lagi bekerja di sekolah swasta dengan aturan yang serba luwes yang penting bos suka, saya semakin galau. Puncaknya saya menyerah. Keluar dari dunia yang saya cintai. Meninggalkan anak-anak didik yang yang menyayangi saya.

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya