Oleh: @ziatuwel
Sampai saat ini aku meyakini bahwa setiap pesantren
-semestinya- punya maziyah atau keistimewaannya sendiri. Mungkin kitabnya yang
dipelajari sama, namun suasana dan pendalamannya tetap berbeda. Baik di dalam maupun
luar negeri. Begitu juga dengan lingkungan Pesantren Krapyak.
Tapi sebelum menyebutkan tujuh maziyyah Krapyak, ada baiknya
kusebutkan dulu maziyyah pesantren secara umum. Yakni keistimewaan sistem
pendidikan ala pesantren yang timeless dan menjadi ruh bagi pendidikan itu
sendiri. Setidaknya ada sembilan maziyah pesantren yang bisa kurekam dengan
mengamati praktik pendidikan di pesantren-pesantren salaf. Yakni; konsep pawiyatan, konsep keteladanan,
penguasaan ilmu alat, penguasaan turats, dialogis, kecakapan hidup, semangat khidmah,
budaya komunal, dan berbasis potensi. Penjelasannya sudah kutulis di tulisan
Sembilan Maziyah Pesantren Salaf.
Adapun Pesantren Krapyak kurasa memiliki karakternya
sendiri, dan karakter itu menjadi hal-hal minimal yang musti dikuasai oleh
santri Krapyak –atau setidaknya dikenali oleh mereka. Tentu tak perlu kubedakan
antara Al-Munawwir dengan Yayasan Ali Maksum, semuanya memiliki maziyah yang
relatif sama. Sebab bersumber pada hulu yang sama.
Lalu apa saja maziyah itu?
Hari Santri Nasional 2016 di Krapyak Yogyakarta |
Pertama, warisan Quran Mbah Munawwir
Tentu saja maziyah paling utama adalah pengajian Quran
warisan Mbah Munawwir, yang kemudian dilanjutkan oleh Mbah Abdul Qodir, Mbah
Ahmad, hingga kini Mbah Najib serta para pengasuh yang lain. Kalangan santri
paham betul bahwa Mbah Munawwir merupakan salah satu muara pengajian Quran di
Tanah Jawa. Maka karakter Qurani sangat melekat sebagai identitas Pesantren
Krapyak.
Maka mau berubah bagaimanapun, kukira remah-remah keberkahan
Quran tinggalan Mbah Munawwir tetap akan mewarnai Pesantren Krapyak hingga
akhir zaman, dan semestinya memang begitu. Maka siapapun yang nyantri di
Krapyak, jangan sampai menyiakan kesempatan ngaji Quran dengan sanad dan nasab
yang menyambung kepada Mbah Munawwir.
Mungkin sebelumnya seorang santri pernah ngaji Quran, atau
bahkan sudah hapal. Namun akan lebih istimewa jika saat nyantri di Krapyak, ia
mengokohkan kembali ngaji Qurannya. Baik ngaji binnazhar, bilhifzhi, atau
bahkan sampai ngaji qira-at tujuh. Baik ngaji talaqqi tiap pagi, sorogan
bacaan, setoran hapalan, gabung simakan, atau jamaah khataman tarawih. Setrum
ngaji Quran ini akan menjadi bekalnya kelak sebagai pribadi muslim, apalagi
jika dipercaya mengampu pengajian Quran di tengah masyarakat.
Di Krapyak, Quran betul-betul ‘dirayakan’ dengan semarak.
Tiap pagi ada pengajian talaqqi secara tahqiq bersama Mbah Najib. Tiap petang
ada sorogan bacaan Quran (binnazhar) di komplek masing-masing. Ada pula setoran
hapalan (bilhifzhi) di komplek-komplek tahfizh. Hampir tiap pekan ada simakan
Quran yang bisa diikuti, di masjid pusat ada simakan tartilan tiap Sabtu Wage.
Tiap Ramadan digelar simakan tartil tiap bakda zhuhur sampai Ashar, malamnya
shalat tarawih dengan bacaan Quran dan khataman di malam kedua puluh. Santri
Krapyak atau anak-anak kos dekat Krapyak semestinya bersyukur dan jangan
menyia-nyiakannya. Itu semua adalah kebun-kebun keberkahan Quran yang benihnya
ditanam oleh Mbah Munawwir.
Kedua, kamus karya Mbah Warson
Pertama kali melihat sosok Mbah Warson, aku sama sekali tak
menyangka bahwa beliaulah penulis kamus legendaris itu. Kamus fenomenal yang entah
sudah dicetak berapa ratus ribu eksemplar sejak pertama kali terbit. Kamus yang
jadi perangkat utama semua santri senusantara dalam memahami kitab-kitab salaf.
Ternyata ditulis oleh sosok yang gerak-gerik dan penampilannya begitu
bersahaja.
Dididik oleh Mbah Ali, sosok Mbah Warson mampu
mengoptimalkan potensi kecerdasannya. Sejak belia, Mbah Warson sudah mengajar
Alfiyah, sampai-sampai dikisahkan kakinya menggantung di kursi karena masih
sangat kecil untuk menjadi guru. Beliau menulis kamus di awal usia dua puluhan
serta aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan.
Warisan kamus ini tentu merupakan karakter khas yang sangat
istimewa, dan menjadi peninggalan monumental yang musti diuri-uri santri
Krapyak. Bagaimana caranya? Santri Krapyak jelas harus familiar bagaimana menggunakan
kamus Al-Munawwir. Malah kalau bisa sih harus punya di rak bukunya
masing-masing.
Atau kalau mau lebih canggih, bagi santri yang mampu, bisa
mengoptimalkan dan menyempurnakan kamus Al-Munawwir sesuai perkembangan zaman. Sebagaimana
pernah diungkapkan Pak Ali As’ad saat seminar sejarah kamus Al-Munawwir. Ia berharap
kamus tinggalan Mbah Warson ini bisa dikembangkan dalam berbagai bahasa. Tidak hanya
Arab-Indonesia dan sebaliknya, tapi juga Arab-Mandarin, Arab-Latin,
Arab-Inggris, Arab-Jepang, dan seterusnya. Tentu saja tidak hanya dalam bentuk
cetak, tetapi juga berupa aplikasi-aplikasi praktis digital.
Ketiga, metode sorogan dan Hujjah Aswaja ala Mbah Ali
Mbah Ali dikenal –salah satunya- dengan gaya mengaji sorogan
yang sangat demokratis. Bagi santri-santri yang sudah siap, di waktu-waktu
tertentu akan menghadap kiai sambil membawa kitab. Kemudian ia membaca kitab
tersebut secara apsahan, lalu murodi (menerangkan) maknanya. Kiai tinggal
menanggapi atau mengoreksi jika ada kesalahan.
Model mengaji semacam ini tentu butuh persiapan sebelumnya. Jika
esoknya hendak sorogan, santri jelas perlu persiapan agar tak tampil memalukan
di hadapan gurunya. Dalam proses persiapan ini si santri bisa minta bantuan
kepada rekan atau seniornya yang lebih mahir. Dengan metode semacam ini ia juga
mengasah mental dan keberanian, kemandirian dan ketajaman berpikir. Secara langsung,
metode ini juga mengakrabkan santri dengan kamus dan pada akhirnya memperkaya
kosakatanya.
Santri Krapyak sudah sepatutnya melestarikan gaya ngaji
sorogan ini. Baik terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya saat kelak mendidik
mereka, dan tentu saja terhadap murid-muridnya jika memang diamanati menjadi
sosok guru. Sorogan menjadi sarana belajar dialogis yang demokratis namun tetap
terarah dan terawasi. Tidak monolog dan terlalu mendikte, juga tidak terlalu
bebas sampai tak tahu batas.
Selain metode sorogan, warisan berharga Mbah Ali yang lain ialah kitab Hujjah Aswaja. Kitab yang sangat populer dalam bidangnya di kalangan warga Nahdliyyin. Berisi hujjah-hujah amaliah Aswaja, khususnya warga Nahdliyyin, sebagai jawaban atas gugatan mereka yang menyalahkan dan menyesatkan. Kukira setiap santri Krapyak wajib menguasai kitab hijau ini.
Selain metode sorogan, warisan berharga Mbah Ali yang lain ialah kitab Hujjah Aswaja. Kitab yang sangat populer dalam bidangnya di kalangan warga Nahdliyyin. Berisi hujjah-hujah amaliah Aswaja, khususnya warga Nahdliyyin, sebagai jawaban atas gugatan mereka yang menyalahkan dan menyesatkan. Kukira setiap santri Krapyak wajib menguasai kitab hijau ini.
Keempat, kitab-kitab Mbah Zainal
Ada sembilan karya Mbah Zainal yang sudah dibukukan dan
membahas tema-tema penting dalam keberagamaan masyarakat sehari-hari. Yakni Wadhaifu
al-Muta’allim tentang etika santri, al-Muqtathofat tentang hadits, al-Furuq
tentang istilah fikih, Tarikhu al-Hadharati al-Islamiyyah tentang sejarah,
Kitaabu al-Shiyam tentang fikih puasa, Masaailu al-Waqi’iyyah tentang fikih
kontemporer, Majmu’u al-Rasail tentang kumpulan khutbah, al-Ta’riifu bi Ahli
al-Sunnati wa al-Jama’ah tentang keaswajaan, dan Manaasiku al-Hajj tentang
fikih haji.
Kitaabu al-Shiyam selalu beliau bacakan tiap pagi selama
Ramadan di masjid pusat, selain juga tentang risalah al-Kabair wa al-Shaghair
yang termaktub di Majmu’u al-Rasail. Tentu hal ini menjadi kenangan tak terkira
bagi santri Krapyak yang ‘menangi’ momen-momen itu. Alangkah baiknya jika
santri Krapyak nguri-uri peninggalan Mbah Zainal tersebut dengan menjadikannya
sebagai bahan ngaji di rumah tangganya masing-masing, atau mungkin di majlis
dan pesantren masing-masing. Kalau memang belum atau bahkan tidak bisa mewarisi
sikap hidup Mbah Zainal yang begitu zuhud dan wirai, setidaknya santri Krapyak
masih bisa mewarisi peninggalan karya-karya beliau sebagai bahan mutolaah dan
nasyrul ‘ilmi.
Kelima, Shorof ala Krapyak
Apa bedanya shorof Krapyak yang diajarkan Mbah Ali bin
Maksum Krapyak (Jogja) berjudul as-Sharful Wadhih dengan shorof karya Mbah Maksum
bin Ali Seblak (Jombang) berjudul al-Amtsilatut Tasrifiyyah yang lebih dulu populer
di Indonesia? Ya beda dalam hal keringkasan dan kepraktisanya. Kalau di shorof Seblak
ada 13 rangkaian kata dalam tasrifannya, di shorof Krapyak hanya ada 8
rangkaian saja.
Dalam shorof Krapyak tidak ada masdar mim dan isim alat yang
dianggap tidak fungsional dalam penggunaan sehari-hari, tidak ada fi’il nahi
karena dianggap sebagai ranah ilmu nahwu, juga tidak ada imbuhan fahuwa dan
wadzaka. Hal ini sebagai sebentuk ikhtiar agar pembelajaran shorof bisa lebih
mudah dipelajari, praktis dan fungsional, tidak bertele-tele, serta tidak boros
energi dan waktu.
Metode shorof Krapyak ini digagas Mbah Ali saat masih mondok
dan mengajar di Tremas, bahkan dipraktikkan juga di sana, hingga kemudian
menjadi pakem di Krapyak. Sebagai santri Krapyak, tentu sepatutnya mengenal
ilmu shorof praktis ini, menggunakannya sebagai piranti mengupas kitab-kitab
salaf, kalau bisa turut mengajarkannya jika memang kelak harus mengajar.
Keenam, sikap egaliter dan akademis
Meski berstatus sebagai pesantren salaf dan berlokasi di lingkungan keraton Jogja, ada nuansa yang berbeda di Krapyak. Yakni hubungan egaliter
antara kiai dan santrinya. Tidak ada pemandangan munduk-munduk sebagaimana
lazim ditemui di beberapa pesantren salaf. Bukan berarti santri tak menghormati
kiainya, hanya saja penghormatan tersebut terejawantahkan dengan cara yang
berbeda, biasa-biasa saja.
Secara penampilan, para kiai Krapyak pun mencontohkan gaya
yang biasa saja. Tidak terlampau necis ataupun bertabur atribut busana khas
ulama. Hal ini mungkin diwariskan oleh Mbah Ali yang terkenal sangat akrab dengan
para santrinya. Sikap egaliter semacam ini ternyata memang cocok dengan
atmosfer Jogja sebagai kota pelajar yang akademis.
Santri Krapyak yang sebagian besar anak kuliahan pun mau tak
mau terpapar atmosfer akademis ala kampus. Tentu saja budaya akademik yang
obyektif dan demokratis sangat cocok dengan sikap egaliter yang sudah diteladankan
para kiai Krapyak. Maka tak heran jika sikap semacam ini juga terbawa dalam
karakter alumni Krapyak dimanapun berada. Sehingga bagi kalangan santri, ada
semacam penanda gerak-gerik yang membuat kita bisa tahu; oh dia santri Ploso,
oh dia santri Banten, oh dia santri Krapyak.
Atmosfer akademik ini juga membentuk pribadi-pribadi santri
yang aktif dalam urusan sosial kemasyarakatan secara riil. Entah menjadi
aktivis sosial, kader politik, maupun tokoh ormas. Hal ini bterbukti dari
banyaknya nama alumni Krapyak yang menjadi tokoh nasional dalam berbagai bidang,
baik formal-struktural maupun nonformal-kultural.
Ketujuh, nuansa santai ala kultur Jogja
Ritme kehidupan selama delapan tahun hidup di Jogja berkesan
santai. Ya, mungkin kotanya semakin ramai dan padat, namun orang-orangnya
kurasakan tetap saja woles berkehidupan. Apalagi jika bersentuhan dengan
masyarakat asli Jogja yang kental dengan budaya dan falsafah Jawa. Mereka hidup
sakdermo dan tidak terlalu ngoyo.
Belum lagi adanya berbagai event budaya dan kesenian yang membuat
Jogja semakin woles. Tentu saja suasana ini juga mempengaruhi kehidupan santri
Krapyak. Apalagi bagi mereka yang nyambi kuliah dan hobi keluyuran kesana
kemari. Kukira sikap hidup woles yang kental dengan budaya dan kesenian ini
menjadi nilai plus bagi siapapun yang pernah nyemplung di romantisme Jogja, tak
terkecuali para santri Krapyak.
Itulah tujuh maziyah yang bisa kurekam. Tentu saja sangat
subyektif, dan mungkin berbeda dengan kesan-kesan yang direkam oleh
santri-santri Krapyak yang lain. Semoga bermanfaat.
_____
Salatiga, 30 Januari 2020, ditulis sejak 7 November 2018
MaaSyaaAllah, terima kasih tulisan pengalaman dan banyak informasi bermanfaat lainnya, ya.. senang sekali rasanya bisa mondok di pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Djogja. Salam kenal, saya Ahmad Fatoni
ReplyDelete