Jam Kerja - MbahNajib #19

Suatu hari Mbah Yai tindakan (pergi) mulai pagi hingga sore ke lokasi-lokasi berbeda. Saat tindakan sore hari, ibu beliau yang sudah sepuh turut serta di mobil (kami lebih akrab menyapa beliau dengan sapaan 'Mbah Ibu').


"Seharian ini sudah tindakan terus ya," kata Mbah Ibu tiba-tiba.


Seisi mobil hanya diam, tak ada yang menyahut. Mbah Ibu melanjutkan dhawuhnya,


"Kalau begitu sopirnya pasti juga capek, ya?"


"Ya tidak capek," sahut Mbah Yai Najib halus, "Lha wong ini bukan kerja."


Makjleb! Si sopir tertegun mendengar jawaban itu. Ia tersadar satu hal mendalam. Bahwa segala kegiatannya ini bukanlah pekerjaan, melainkan pengabdian. Rasa capeknya mendadak lenyap.


Kalau diukur dengan kacamata profesi, 'jam kerja' Mbah Yai begitu padat. Sebagaimana para kiai pada umumnya. Mulai pagi lepas subuh hingga dini hari, baik di dalam tembok pondok maupun ke luar kota. Tak percaya? Mari kita urutkan aktivitas beliau:


Pagi hari Mbah Yai Najib mengimami salat subuh berjamaah di masjid pondok. Lalu memimpin zikir agak lama, terutama saat melafalkan kalimat tahlil, pernah iseng kuhitung sampai 150 kali.


Lepas subuh, sekitar jam 6 sampai 7 pagi, Mbah Yai Najib menuju komplek santri, Madrasah Huffadh atau Ribathul Quran, untuk membimbing program talaqqi pagi. Setelah itu beliau santai sejenak di ndalem sambil menerima tamu.


Jam 8 pagi para santri putri mulai berdatangan. Itulah saat mereka setoran hapalan Quran kepada Mbah Yai. Beliau duduk bersila menyimak, santri putri membaca hapalannya dari balik satir. Biasanya usai sampai jam 9 siang.


Agak siang, jam 10-an, giliran santri putra setoran hapalan di tempat yang sama. Biasanya didominasi santri yang takhosus, karena di jam-jam ini mereka tidak sekolah, kuliah, atau kerja. Setoran berlangsung sampai zhuhur.


Lepas zhuhur Mbah Yai bersantai di ndalem, sambil menerima tamu jika ada. Tiap Ramadan, beliau menggelar simakan Quran secara tartil satu setengah juz. Biasanya dimulai jam 2 siang dan berakhir pas Ashar. Lepas Ashar menerima tamu lagi.


Bakda Maghrib beliau menerima tamu lagi sampai Isya. Usai Isya sekitar jam 9 malam para santri putra berdatangan untuk setoran malam. Aktivitas ini biasa berlangsung sampai dini hari, jam 1 malam baru usai.


Kalau pas Ramadan, malam pertama sampai malam ke-20 beliau mengimami jamaah tarawih di masjid dengan bacaan hapalan 1,5 juz. Mulai bakda isya, selesai jam sembilan kurang sedikit. Mulai malam ke-21 beliau tarawih di aula Madrasah Huffadh dengan bacaan 6 juz Quran.


Dini hari Mbah Yai baru bisa beristirahat. Kemudian melanjutkan siklus kegiatan yang sama esok hari. Jadwal harian ini belum termasuk undangan acara dari masyarakat sekitar maupun agenda lawatan ke luar kota.


Sebagai kiai yang 'kerja' utamanya ngemong umat sesuai bidangnya, tentu jam-jam aktivitas di atas bisa kita sebut sebagai 'jam kerja'. Tapi sebagaimana Mbah Yai sebut di kisah di atas, semua itu bukanlah pekerjaan sehingga tidak melelahkan batin.


Pernah di suatu Ramadan, aku dan kawan santri, sebut saja Hokya, berikrar untuk menyamai kegiatan Mbah Yai sehari-semalam selama seminggu. Minimal menyamai jamaah, tarawih, wiridan, nyimak tartilan, dan ngaji pagi-siang-malam. Siapa yang sanggup, dia yang menang dan berhak ditraktir di angkringan.


Baru tiga hari berlalu aku nyerah, kecapekan. Lalu kucari Hokya untuk menyatakan kekalahanku. Kucari di kamar, tak ada. Di aula, tak ada. Akhirnya kucari di masjid. Kulihat dia sedang terkapar di samping tiang.


"Lhoh, kenapa kamu?" tanyaku.


"Wes, dab, wes! Gak sanggup, meriang aku!"




___

Kalibening, 16 Ramadan 1442

28 April 2021

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya