Catatan refleksi setelah isolasi mandiri selama empat belas hari.
@ziatuwel
Sebenarnya Hari Jumat (18 Juni 2021) aku sudah berasa tak enak badan. Apalagi setelah hujan lebat pas jumatan. Malamnya masih sempat wawancara online dengan agak nggreges. Paginya, Sabtu, badan sudah berasa meriang.
Hari 1-3
Sabtu pagi aku sudah resmi meriang. Badan panas demam, kuanggap meriang biasa saja. Cukup minum parasetamol untuk menurunkan panas.
Ahad masih belum mending juga. Malah makin tak enak badan. Ditambah pegal-pegal, rasa capek, batuk pilek. Malam harinya aku periksa ke mantri desa. Diberi obat penurun panas, antibiotik, dan obat batuk-pilek. Malam itu aku bisa tidur.
Hari 3-7
Senin malam badan kembali panas. Makan tak enak, maag bawaan berasa kambuh. Bahkan sampai tak bisa tidur. Pikiran kemana-mana. Betul-betul pikiran tak bisa disuruh diam.
Sampai malam itu aku berhalusinasi, entah mimpi atau apa. Aku sedang tenggelam di air. Lalu nampak tayangan karya-karya yang kubuat, diskusi-diskusi yang kuhadiri, seminar-seminar yang kuisi, tokoh-tokoh besar yang kutemui. Tapi semua itu hanya lewat saja. Tak ada yang bisa membantuku.
Lalu muncul tayangan saat aku membersamai anak-anak kecil mengaji Quran. Tayangan itu kemudian berubah wujud jadi jirigen kecil. Dengan jirigen kecil itu aku bisa mengapung, tak jadi tenggelam.
Malam itu betul-betul terasa sangat panjang. Baru bisa tidur pagi harinya. Badan masih panas semromong. Hari Selasa, Rabu, Kamis, kutelateni minum madu tiap sejam untuk menurunkan panas. Juga minum minyak kelapa murni (VCO). Juga perasan tanaman onje untuk mengompres badan dan minum sedikit. Juga air degan plus jeruk nipis dan madu. Berhasil. Demamku turun.
Hari Kamis baru kusadari ternyata penciumanku hilang. Aku mulai mengonsumsi empon-empon (ramuan jahe, sereh, lengkuas). Ngemut dan menyesap potongan jahe. Juga tetap mengonsumsi parasetamol dan antibiotik.
Hari 8-10
Jumat sore aku minum satu antibiotik dosis tinggi, Azythromycin Dihydrate. Entah tak cocok atau bagaimana, aku muntah, setelah itu badan enakan dan mata berasa segar. Tapi rasanya kok berlebihan di badan.
Jumat malam itu aku jadi tak bisa tidur lagi. Padahal saat itu tubuhku tak panas.
Sampai Sabtu dzuhur aku tak tidur. Betul-betul senewen rasanya. Badan jadi lemas dan tak berdaya. Sedangkan mata rasanya biasa saja, tak ngantuk. Betul-betul seperti salah kena doping.
Sabtu siang mantri desa datang dan memasangkan infus. Baru setelah itu aku bisa tidur. Ia bilang insomnia yang kualami salah satu gejala covid, bukan efek obat. Ahad sore kulepas infus karena berasa tak nyaman. Tak leluasa bergerak, apalagi kalau mau sholat.
Hari 11-13
Senin napas makin berasa tak nyaman. Jika beberapa hari sebelumnya hanya tak bisa tarik napas dalam, kali ini betul-betul sudah bernapas pendek. Hanya bisa agak lega saat rebah. Kalau duduk, apalagi setelah jalan, napasku tersengal-sengal. Apalagi kalau sampai batuk, rasanya tak bisa napas dan badan langsung lunglai. Kuikhtiari dengan menghirup uap air panas yang ditetesi minyak kayu putih, agak mendingan.
Juga badan menggigil. Kalau awal gejala yang kurasakan sumuk, kini berubah jadi menggigil sampai gemeretuk gigiku. Reda setelah minum parasetamol.
Untungnya hal ini hanya berlaku tiga hari, sampai Rabu. Setelah itu napasku agak mendingan. Badan sudah tak menggigil lagi. Dan penciumanku sudah berangsur kembali. Tinggal kondisi badan yang masih lemas.
Hari 14
Kamis-Jumat, tepat dua pekan, kondisi badanku berangsur membaik. Napas mulai lega, tubuh mulai bisa jalan-jalan ringan sambil berjemur tanpa kecapekan. Makan sudah berasa sedap. Tinggal meningkatkan kekuatan tubuh dan pemulihan tenaga. Juga masih insomnia walaupun bisa tidur sekilas-kilas. Alhamdulillah.
Jadi selama dua pekan isolasi mandiri, aku mengalami beberapa gejala dengan urutan berikut;
- Panas demam
- Pegal rasa capek
- Batuk pilek
- Halusinasi
- Anosmia
- Menggigil
- Insomnia
- Sesak napas
- Lemas
Beberapa asupan yang kukonsumsi sebagai ikhtiar penyembuhan;
- Air putih hangat (dibacai Quran dan shalawat)
- Nasi, sayur, buah (harus makan)
- Madu
- Empon-empon (jahe, sereh, lengkuas)
- Perasan onje (kompres dan minum)
- Air degan (plus madu & jeruk nipis)
- Virgin coconut oil (VCO)
- Parasetamol (Sanmol)
- Antibiotik (Amoxillin)
- Obat dahak (Bromhexine HCI)
- Obat tidur (Alprazolam)
- Antivirus (Oseltamivir Phosphate)
- Suplemen (Megavite)
Setelah 14 hari isolasi mandiri ini kusadari beberapa hal yang sangat penting bagi hidupku. Yang kurasa perlu kutuliskan mumpung masih diberi kesempatan. Juga mungkin penting bagi teman-teman semua yang masih diberi kesempatan membaca tulisan ini.
Pertama, TOBAT
Sebelum kena gejala-gejala ini, kebetulan aku sedang mutolaah kitab Minahus Saniyah-nya Imam Sya'roni. Kitab kecil tapi sangat berat. Aku baru selesai mutolaah bab awal, wasiat Imam Matbuli tentang tobat. Bahwa orang beribadah tanpa tobat dari dosa-dosa hanya akan kemrungsung hatinya, berisik jiwanya, bahkan saat ia giat beribadah sekalipun.
Kuyakin momen sakit -lalu sembuh- dari Covid ini jadi kesempatan dari Gusti Allah bagiku untuk mengendapkan keinsafan tentang tobat. Sebagaimana dulu pernah juga kualami saat parah-parahnya GERD. Tobat dari dosa-dosa besar, kecil, dan terutama dari hal-hal yang tak ada faedahnya di dunia dan akhirat.
Hidup tak lama. Cepat atau lambat, sakit atau sehat, pasti kita bakal ketemu ajal. Ruh kita akan dicabut kembali kepada asal. Tobat adalah langkah paling masuk akal, untuk bersiap-siap menghadapinya. Kita betul-betul tak punya waktu lagi untuk sekarepe dewe.
Kedua, KELUARGA
Tak ada yang paling dekat dan bisa diandalkan selain keluarga. Terutama keluarga inti terdekat; ibu, ayah, istri-suami, saudara, anak. Kita bisa kenal dengan tokoh siapapun, kita bisa berjejaring dengan siapapun, tapi yang betul-betul ada saat kita ambruk adalah keluarga.
Maka kusadari betul; adalah anugerah besar masih punya kesempatan bersama mereka. Tak boleh ada pekerjaan, kegiatan, eksistensi media sosial, atau apapun yang boleh menggeser kebersamaan dengan mereka.
Mengobrol, bercengkerama, memijat, bercerita, atau sekadar duduk-duduk santai sambil petan sebagaimana orang-orang desa. Sungguh waktu tak bisa terganti, kesempatan tak bisa dibeli.
Setelah keluarga inti, kemudian tetangga. Semasa denganku, ada 50-an kasus positif covid di desa kami. Konsep 'jaga tangga' betul-betul penting, ikatan kekeluargaan sesama tetangga sangat dibutuhkan di masa-masa seperti ini.
Ketiga, KEMANDIRIAN
Kita wajib mengupayakan kemandirian dalam hidup. Kemandirian pengetahuan dan kemandirian sikap. Terutama kemandirian pengetahuan tentang diri kita sendiri, asupan apa yang perlu dan jangan kita konsumsi, pemahaman tentang langkah apa yang musti diperbuat saat sakit.
Apalagi di masa wabah seperti ini. Saat fasilitas-fasilitas dan otoritas-otoritas kesehatan sedang kewalahan. Kita sama sekali tak bisa menggantungkan nasib -apalagi menyalahkan- siapapun. Rumah sakit? Dokter? Pemerintah?
Tidak. Kita bertanggung jawab penuh atas diri kita sendiri. Pihak lain di luar diri sebatas membantu saat kita betul-betul sampai di batas kemampuan. Maka pihak pertama dan utama yang musti bertindak adalah diri kita sendiri.
Pengetahuan tentang tanaman-tanaman obat, ramuan tradisional, pangan sehat, gerak-gerak badan dan pernapasan adalah sebentuk kemandirian yang kita abai selama ini. Kita perlu memulai kemandirian ini dari kebun di rumah. Syukur kalau masih punya lahan atau sawah.
Meski demikian, kemandirian semacam ini pun musti diiringi kepekaan sosial dan kesadaran hidup bermasyarakat. Sehingga sikap dan ungkapan kita tak hanya benar bagi diri sendiri, tapi juga baik bagi sekitar dan indah bagi sesama. Patuh kepada protokol kesehatan sebagai kesepakatan bersama adalah salah satu bentuk kebaikan.
Kesadaran tentang tobat, keberadaan keluarga terdekat, serta pengetahuan mandiri tentang apa yang musti dilakukan, adalah bekal utama agar tidak panik menghadapi wabah Covid ini, bahkan wabah apapun.
Semoga wabah segera terangkat. Kita semua dijaga oleh Gusti Allah, kuat iman, kuat imun, semuanya aman. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
__
Senin 5 Juli 2021