Tiga Aspek Kurikulum Pesantren: Ngaji, Adab, Roan! #SeriSantri (1)

Ada tiga aspek perkembangan pendidikan yang sangat terkenal, hasil ijtihad dari Benjamin Bloom, sehingga disebut ‘Taksonomi Bloom’. Berupa hierarki yang digunakan untuk mengklasifikasikan perkembangan pendidikan anak secara objektif, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Nah, tiga aspek inilah yang digunakan untuk menyusun rancangan kurikulum dimana-mana.

KH Imam Yahya Mahrus kerja bakti bersama para santri Lirboyo

Kognitif berasal dari bahasa latin, cognitio, artinya pengenalan, yang mengacu kepada proses mengetahui maupun kepada pengetahuan itu sendiri. Aspek kognitif berkaitan dengan nalar atau proses berpikir, yaitu kemampuan dan aktivitas otak untuk mengembangkan kemampuan rasional.

Afektif adalah aspek yang berkaitan dengan emosi seperti penghargaan, nilai, perasaan, semangat, minat, dan sikap terhadap suatu hal. Sedangkan psikomotorik meliputi perilaku gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan fisik.

Pendidikan yang sukses, menurut konsep Taksonomi Bloom ini, adalah yang sanggup menggarap ketiga aspek tersebut. Baik sisi keterasahan nalarnya, kemuliaan sikapnya, juga kecakapan fisiknya. Otomatis, lembaga pendidikan yang bagus harus bisa menggarap seluruh aspek tersebut melalui kurikulum belajarnya.

Nah, entah bagaimana, model pendidikan pesantren sudah sejak dahulu kala menggarap keseluruhan aspek tersebut. Sehingga normalnya, seorang santri pesantren akan secara otomatis terdidik nalarnya, sikapnya, dan kecakapannya. Hal ini sangat nampak –terutama- di pesantren-pesantren salaf (kuno) yang mempraktikkan kemandirian dan kesederhanaan hidup.

Bagaimana penjelasannya? Begini:

Kognitif

Aspek kognitif di pesantren digarap melalui banyak aktivitas intelektual berupa pengajian kitab-kitab salaf. Di pesantren ada pengajian bandongan kitab, berupa pembacaan secara intensif (intensive reading) suatu kitab oleh guru dari awal sampai khatam. Ada juga pendalaman ilmu-ilmu alat yang menjadi bekal dasar bagi santri untuk mengasah nalar dalam mengupas kitab-kitab dan fenomena-fenomena kehidupan, berupa pelajaran bahasa dan mantik (liberal arts).

Ada pula aktivitas sorogan kitab, berupa pembacaan suatu kitab secara aktif dan mandiri (active learning) oleh santri di hadapan guru. Ada juga kegiatan musyawarah (interactive discussion) suatu kitab tertentu, hingga pembahasan masalah kontekstual berupa bahtsul masail. Juga ada praktik ngaji pasanan, yakni studi kunjung (exchange study) lintas pesantren selama bulan Ramadan.

Afektif

Aspek afektif santri terdidik melalui tradisi pemuliaan adab, unggah-ungguh, atau etika bertingkah laku (manner) yang sangat kental antara santri dengan sumber-sumber ilmu. Ada juga budaya hidup bersama atau berkomunitas (communal livehood), mau tak mau, santri harus berbagi ruang dan privasi dengan santri lain selama bertahun-tahun. Juga –tentu saja- praktik pembelajaran sehari penuh (full day education) yang berlangsung tidak hanya di kelas tapi juga di kamar dan seluruh wilayah pesantren. Serta keteladanan guru yang bisa disaksikan langsung oleh santri.

Psikomotorik

Aspek psikomotor santri terlatih melalui pembiasaan roan, berupa aktivitas fisik (physical activities) kerja bakti bersama atau piket terjadwal. Ada pula kebiasaan melakukan ‘pekerjaan rumah’ secara mandiri, seperti mencuci, memasak, bertukang, berladang, dan beternak, yang merupakan kecakapan hidup dasar (daily basic skills).

Selain itu ada juga praktik bela diri (self defense) yang tentu saja sangat berpengaruh pada fisik santri, ceramah atau penyampaian materi di depan khalayak (public speech), hingga tugas tabligh dan pendampingan dakwah di tengah masyarakat (society accompany).

Ringkasnya, pesantren-pesantren salaf sudah menggarap semua aspek pendidikan itu secara efektif, melalui kegiatan-kegiatan yang alamiah dan terukur. Kalau ada pesantren zaman sekarang punya semua kegiatan itu, berarti itu pesantren paket komplit yang istimewa.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya