Kombinasi Makanan: Sehat Tanpa Obat




 Tiga bulan pemulihan tanpa perkembangan signifikan membuatku galau. Rasanya sangat rapuh meskipun gejala kumat sudah tak seganas sebelum opname. Dulu, ketika kondisi tubuh tidak fit, akumulasi masuk angin, begadang dan telat makan, bisa membuatku ambruk. Ya, ambruk dalam makna harfiah

Ambruk pertama terjadi di kampus. Pas lima menit menjelang ujian akhir semester. Badan menggigil dan perut mendadak kram hingga sekujur badan pun kejang. Aku digotong kawan-kawan ke poliklinik dan diistirahatkan beberapa jam. Ambruk kedua saat nongkrong di Blandongan. Tiba-tiba punggung terasa dingin dan bolong, segera saja kutuju warung makan terdekat. Teh manis hangat dan sepiring nasi telur terhidang, namun belum sempat menelan, perut kumat dan sekujur badan lagi-lagi kejang. Setelah itu, aku jadi sering ambruk, di pondok, di kedai, bahkan di dalam mobil saat diantar pulang.

Setiap kali ambruk, butuh 2-3 jam untuk mengendorkan saraf dan otot-otot tubuh setelahnya. Badan terasa lemah tak bertulang. Begitu diperiksakan ke dokter, aku selalu dinasehati untuk menjaga pola makan dan tentu disanguni berbagai jenis obat, mulai sirup hingga tablet.

Penyakit yang berhubungan dengan lambung memang rawan kumat bila sembarangan makan. Padahal beragam penyakit pasti berkaitan dengan asupan yang masuk ke dalam tubuh. Ya makanan, ya minuman. Tak heran jika orang zaman sekarang mengidap berbagai ragam penyakit aneh.

Tahun lalu –Januari 2013- aku opname hampir dua minggu, saat itu aku dirawat ‘katanya’ dalam rangka typhus dan demam berdarah saja. Setahun kemudian –Februari 2014- masuk rumah sakit lagi. Kali ini sekalian disiksa dengan endoskopi, sehingga ketahuanlah bahwa lambungku lecet dan usus dua belas jariku radang. Inilah penyebab gangguan pencernaan yang kambuh-kambuhan.

Dokter hanya memberikan saran agar aku menjaga pola makan. Yang kupahami hanyalah tepat waktu makan, sesuai dengan menu empat sehat lima sempurna yang ternyata ‘penipuan’. Aku tak mendapat kejelasan tentang apa yang musti dimakan dan bagaimana tata cara makan yang aman. Obat-obat dari rumah sakit tak memberikan pengaruh berarti.

Akhirnya kucoba alternatif pijat refleksi. Dan ajaib, satu kali terapi, aku sudah bisa tidur nyenyak dan tak lagi mual. Namun terapi ini harus berlangsung belasan kali, padahal aku harus segera berangkat ke luar kota. Satu hal yang selalu kuingat dari Pak Pijat ini adalah pemahaman canggihnya; obat-obatan itu hanya meredakan gejala penyakit, bukan memperbaiki kerusakan yang menjadi sebab utama penyakit itu. Maka mengobati gejala tanpa upaya memperbaiki kerusakan tentulah percuma.

Seminggu menjelang bulan puasa kesehatanku masih kacau. Tak kuat capek dan begadang, selalu mengonsumsi madu, jintan hitam, atau imboost sebagai suplemen. Juga hanya kuat lapar maksimal 5 jam. Setelah itu harus diasupi makanan walau sepotong roti. Kalau tak segera makan, napasku tersengal, keringat dingin mengucur, dan perut mual-mual. Kalau sudah begitu, biasanya kutenggak Mylanta sebagai pereda asam lambung yang melambung. Apalagi jika tengah malam, aku pasti harus segera menyerbu burjo terdekat. Setelah makan pun selalu lemas dan begah.

Wah, kalau begini terus, tak mungkin aku bisa puasa. Begitu pikirku.

Beberapa hari menjelang puasa, tepatnya 18 Juni 2014, melalui wasilah seorang kawan, Gusti Allah mempertemukanku dengan praktisi Food Combining yang kebetulan sedang berada di Yogyakarta. Kami ngobrol tentang suatu bentuk tata pola makan yang tidak hanya teratur, tapi juga sesuai dengan siklus kerja organ pencernaan.

Dari konsultasi singkat itu ada pemahaman baru yang sama sekali berbeda dengan apa yang kutahu selama ini. Seperti porsi nasi yang seharusnya sedikit saja, salah konsep tentang buah untuk cuci mulut pasca makan, perasan jeruk nipis yang ternyata baik diminum sebangun tidur, serta horor susu (sapi) sebagai racun putih. Padahal selama ini makanku selalu dengan nasi, makan buah setelah makan dianggap bagus, selalu takut mengonsumsi jeruk, serta menganggap susu menjadi asupan yang menyehatkan apalagi bagi si sakit.

Setelah berpanjang lebar ngobrol, akhirnya kuputuskan untuk mempraktekkan Food Combining. Tentu terlebih dahulu kupahami apa itu Food Combining, prinsip-prinsipnya dan tata cara maupun tujuannya. Ini bukan diet, hanya suatu perilaku makan yang menyesuaikan dengan siklus sirkadian organ pencernaan. Sehingga, bila organ tubuh bermasalah, maka dia bisa memperbaiki dirinya sendiri melalui nutrisi makanan yang dicerna. Tanpa obat, tanpa suplemen.

Ada empat nutrisi yang dibutuhkan tubuh dan masing-masing punya porsinya sendiri-sendiri; protein (10%; dari daging, ikan, telur), karbohidrat (20%; dari nasi, kentang, singkong, jagung), mineral dan vitamin (70%; dari buah dan sayur). Jadi, porsi sayur dan buah semestinya mendominasi, padahal selama ini asupan nasi dan protein jauh lebih banyak dan ternyata inilah yang menghambat perbaikan sistem pencernaanku.

Prinsip-prinsip dasar kuperhatikan betul-betul. Seperti mengunyah dengan tuntas dan tidak terburu-buru, makan sambil duduk dan santai. Berhenti makan sebelum kekenyangan, kalau bisa jangan sampai kenyang. Dilarang mencampur protein hewani (daging atau ikan) dengan karbohidrat (nasi) dalam sekali makan. Jika makan nasi ya tanpa daging, kalau makan daging ya tanpa nasi. Buah tak boleh dikonsumsi setelah makan karena hanya akan membusukkan asupan yang ditumpukinya di lambung. Adapun sayur boleh dimakan kapanpun. Pengaturan ini berdasarkan kemampuan cerna enzim-enzim yang ada di dalam organ pencernaan.

Keesokan harinya aku mulai melakoni pola makan yang disarankan, sesuai petunjuk pelaksanaan jadwal makan Food Combining.

Pagi setelah bangun tidur, kuseduh jeruk nipis dengan air putih hangat. Kemudian kuminum. Padahal sebelumnya pengidap maag akut sepertiku tentu begitu anti dengan makhluk bernama jeruk, apalagi dikonsumsi setelah bangun tidur. Betapa ngeri kubayangkan. Namun ternyata justru perutku terasa nyaman, asupan ini membantu menjaga elastisitas pembuluh darah, mencegahnya dari penyempitan akibat kolesterol berlebih, serta mengobati usus yang luka sebagai terapi sakit maag.

Beberapa jam berikutnya, aku sarapan dengan menu yang sangat berbeda. Biasanya makan nasi berlauk sayur, tempe, daging atau telor, dan segelas teh manis. Mulai pagi itu hanya kukonsumsi buah matang segar. Sebutir apel menjadi menu pembuka, kadang melon, kadang pepaya. Dua jam kemudian kumakan dua buah pisang sebagai ‘penutup sarapan’. Adapun minuman, tetap setia pada air putih, gula mulai kujauhi.

Menu makan siang pun mengalami perubahan radikal. Setengah mangkuk sayur (matang) atau lalap sayur (mentah), plus sepotong daging ayam atau ikan atau telur. Tanpa nasi tentunya. Sore hari, sebagai cemilan, tersedia bubur kacang ijo dan segelas teh tawar hangat. Malam harinya, baru aku makan nasi, itupun hanya setengah centong, dikombinasikan dengan sayur dan tahu tempe. Menjelang tidur, kuusahakan mengonsumsi jus sayur (wortel atau tomat).

Begitu terus kulakoni. Tiga hari pertama, perutku masih tak kuat lapar dan sering merasa pusing pun lemas. Tapi tetap kulanjutkan karena semua gejala itu hanya efek detoksifikasi yang justru bagus. Seminggu kulakoni sudah sangat terasa perbedaannya. Bahkan hanya dengan sahur buah, aku sudah kuat puasa sebagaimana biasa, bonus fisik terasa lebih segar.

Sekarang sudah satu bulan lebih kujalani pola makan ini. Badan terasa lebih segar. Tak ada lagi pusing sebangun tidur, begah setelah makan, mual karena tak kuat lapar, apalagi kram perut dan kejang-kejang. Alhamdulillah. Secara ekonomis, pola makan ini juga relatif sama, bahkan lebih murah dibanding pola makan ‘cacah rucah’. Bahan makanan dalam pola ini juga sangat terjangkau di kota maupun di desa, apalagi bagi orang dusun yang masih suka menanam sayur dan buah di kebun sendiri. Aku tetap bisa makan enak, namun memang harus menjaga kombinasi yang tepat.

Kalau ingin lebih lengkap mempelajari apa dan bagaimana pola makan Food Combining ini, silakan baca buku-buku Food Combining karya Andang Gunawan atau Erikar Lebang. Banyak tersedia di Gramedia. Di dalamnya memuat prinsip-prinsip dasar cara kerja organ pencernaan, asupan makanan, jadwal makan, serta contoh-contoh menu yang bisa dijadikan variasi.



Perlu diingat bahwa pola makan ini bukan terapi pengobatan atau diet pelangsingan. Meskipun pada akhirnya pola makan ini membawa efek pengobatan dan membentuk tubuh yang ideal. Pola makan ini ‘hanya’ upaya menata kembali asupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh sehingga si tubuh bisa mengobati dirinya sendiri secara alamiah. Tubuh kita dianugerahi kemampuan dahsyat untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terlanjur ada, yakni dengan nutrisi yang diserap dari asupan-asupan makanan yang masuk. Nah, hal inilah yang ditata dalam Food Combining. Pengidap masalah lambung, usus, ginjal, jantung, lever, kolesterol, diabetes, obesitas, vertigo, bahkan rahim, bisa merasakan perkembangan kesehatan yang signifikan dengan pola makan ini.

Repot? Kurasa tidak. Ini jauh lebih baik daripada mengumbar selera makan dan ketergantungan terhadap obat. Makan bukan sekedar untuk pemenuhan selera, tetapi juga sebagai asupan energi untuk beraktivitas. Bahkan terhitung ibadah. Dan setiap ibadah harus dilaksanakan sesuai ilmunya.
Bulan puasa agaknya tepat sebagai momen untuk mengaji tentang makanan dan pola makan. Selamat mengaji makanan! :)


~
Tegal, 23 Juli 2014

2 Comments

  1. alhamdulillah, tambah ilmu.
    Smoga jd 'ilmun naafi'.
    Doakan bs praktikum FoodCombining selekasnya. :)

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya