Kombinasi Makanan: Pengalaman dan Pengamalan

Catatan ini tak begitu penting, hanya menceritakan pengalaman ambruk saya selama rentang dua tahun ini beserta ikhtiar pemulihan yang saya lakoni. Sengaja saya bagikan sebagai salah satu bentuk pemanfaatan media sosial, jangan sampai kita meremehkan gangguan-gangguan kecil yang bisa berakibat fatal. Siapa tahu di antara sedulur pembaca ada yang mengalami masalah yang sama dan sedang mencari upaya pemulihan atau mungkin menyarankan bentuk ikhtiar pelengkap yang ampuh.

Masalah kesehatan yang saya alami ini tentu menghambat berbagai macam aktivitas sebagai anak muda. Tanggung jawab yang musti saya tuntaskan di kota ini pun –mau tidak mau- semakin terhambat, baik di Krapyak maupun di Kampus Putih Sunan Kalijaga. Namun setelah dicermati betul-betul, ternyata saya memang ‘pantas’ ditegur dengan problem kesehatan berkepanjangan semacam ini agar mau berubah untuk lebih bertanggung jawab terhadap amanah jiwa dan raga, ruang maupun waktu.

Kronologi

Rekam jejak masalah kesehatan saya dimulai pada akhir 2012. Sejak pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 2010, gaya hidup saya semakin tak teratur.

Apa gaya hidup memang musti diatur? Ya tentu saja. Walaupun bentuk aturan tiap individu tak bisa diseragamkan, karena tiap orang semestinya bisa menentukan aturan bagi gaya hidupnya sendiri. Hal ini terkait pola istirahat, pola kerja, pola hiburan, hingga pola makan, bahkan pola beribadah. Sesuatu yang terpola dengan irama yang seimbang akan lebih nikmat, terjaga, dan berhasil. Sedangkan kesemrawutan pola tanpa irama yang serasi akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Khususnya kesehatan. Lalu bagaimana jika ada orang yang sehat-sehat saja meskipun menurut kita hidupnya tak teratur? Saya tak percaya, pasti orang tersebut juga punya pola tertentu bagi dirinya sendiri untuk mengatur momen, porsi, dan segala detil yang ditatanya.

Januari 2013

Saya diopname selama satu minggu di rumah sakit. Setelah dua tahun tergiur dengan kemolekan Yogyakarta tanpa pola yang teratur, makan minum tak tertata, jauh dari buah dan sayur, kurang olahraga, hobi begadang dan keluyuran, plus betah berjam-jam duduk memacari laptop, saya mulai merasakan ketidaknyamanan kesehatan. Sering masuk angin, perut kerap terasa kembung, gampang mual jika terisi makanan penuh, serta gampang capek. Setelah terasa begitu lemah, saya periksakan ke lab dan positif thypus plus demam berdarah. Akhirnya, saya dirawat seminggu di Tegal, lalu pemulihan sebulan di rumah, kemudian berangkat lagi ke Yogyakarta, dengan sangu obat-obatan dan pil cacing.

Dirawat di RSI Singkil
20 Juni 2013

Setelah tiga hari keluyuran, kurang istirahat dan makan-minum tak teratur, saya ambruk di kampus. Tepat 15 menit sebelum ujian. Saat itu saya baru saja menghabiskan sepiring nasi sayur dan segelas es teh segar. Disusul rasa mual dan mules yang kemudian saya tuntaskan di toilet. Setelah usai, bukannya lega, malah terasa pusing dan menggigil, persis gejala masuk angin. Punggung dingin dan sekujur badan lemas. Sepuluh menit kemudian, perut saya terasa kejang, semakin menjadi-jadi serasa botol plastik yang diremas-remas. Tak lama, seluruh anggota badan saya kram tak berdaya. Saya dilarikan ke poliklinik dan istirahat di sana sekitar tiga jam.

Ambruk di Poliklinik UIN Sunan Kalijaga
Oktober 2013

Saya kumat di pos KKN-PPL. Tidak jelas betul apa yang membuat saya sampai kram perut saat itu, mungkin karena pengaruh beban pikiran sebagai ketua kelompok dan beberapa faktor psikis pribadi yang menjadi sebabnya. Gejalanya sama, diawali rasa masuk angin, lalu lemas tak berdaya, kemudian puncaknya kram perut. Untungnya, sedulur-sedulur satu kelompok dengan telaten merawat saya hingga beberapa hari, menyediakan bubur untuk sarapan dan menggantikan saya dalam tugas-tugas di sekolah tempat kami praktek.

Bersama kawan-kawan KKN-PPL di markas Sembego
Februari 2014

Saya bikin geger di warung burjo gara-gara ambruk mendadak. Seperempat jam sebelumnya, saya sedang duduk santai bareng kawan-kawan di Blandongan. Sementara yang lain ngopi, saya cukup njajan gorengan dan minum sebotol air mineral dingin karena sudah makan dua jam lalu. Beberapa hari sebelumnya penuh dengan keluyuran dan begadang tanpa makan. Maka saat nongkrong sore itu, gejala kumat mulai terasa. Persis seperti ketika kejang di kampus pada Juni 2013. Karena merasa akan segera kejang, setelah menuntaskan hajat di toilet, saya langsung menuju warung burjo terdekat dan memesan sepiring nasi telur. Baru meneguk teh manis hangat, kram sudah tak bisa dihindari. Saya ambruk dan segera digotong beberapa orang yang tak sempat saya kenal ke klinik terdekat.

Ambruk di Klinik Jalan Laksda Adi Sucipto
Setelah insiden itu, saya sangat rentan kumat. Kecapekan sedikit saja bisa memantik asam lambung yang berujung kejang perut. Seminggu setelahnya, saya pulang ke rumah karena –lagi-lagi- didiagnosa kena thypus.

Di saat perjalanan pulang ke Tegal, kejang perut saya kumat di dalam mobil, tepat ketika melintasi wilayah hutan Gombong. Kala itu pukul setengah tujuh malam. Penyebabnya sederhana; telat makan. Maka kami mampir ke rumah warga terdekat. Saya beristirahat dan dirawat di sana selama hampir dua jam.

Sesampainya di Tegal, saya beristirahat di rumah, lalu mulai dirawat di rumah sakit tiga hari setelahnya selama satu minggu. Dua hari pertama, dokter menemukan hal yang aneh karena kesehatan saya tak mengalami perkembangan berarti. Akhirnya, dokter memutuskan untuk melakukan prosedur endoskopi. Yakni suatu metode untuk mengetahui kondisi lambung dan usus. Hasil pemeriksaan endoskopi menunjukkan bahwa ada radang di lambung dan usus dua belas jari. Bukan tukak atau gastritis, hanya erosi dinding lambung, begitu menurut dokter. Maka setelah itu, dokter memberi resep untuk pengobatan luka-luka itu.

Dirawat di RS Kardinah, Tegal
Meski sudah keluar dari rumah sakit, kondisi tubuh saya tetap melemah. Sama sekali tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Tidak bisa capek, deg-degan, apalagi telat makan. Padahal dokter bilang saya sudah boleh berangkat kuliah lagi. Gila! Tiap tiga jam harus makan apapun agar si lambung tidak berulah, kalau tidak, kumat. Pernah suatu kali saya duduk menemani kawan-kawan berlatih rebana, jantung saya berdebar keras seiring tabuhan terbang, seketika keringat dingin mengucur, disusul darah mimisan dari lubang hidung. Sekujur tubuh mendadak dingin, lemas, lalu ambruk lagi beberapa jam.

Pernah pula saya hampir celaka di jalan tengah hutan. Sore hari ba’da maghrib, setelah keluyuran naik sepeda motor, saya berencana pulang ke rumah dalam keadaan belum makan. Di tengah perjalanan saat mengendarai sepeda motor, punggung saya tiba-tiba menggigil, disusul telapak kaki mulai mendingin, terus menjalar ke atas hingga sampai perut. Maka saya memutuskan untuk rehat di pos ojek pinggir jalan dan minta dijemput karena sekujur badan melemas. Untungnya, tidak sampai kram.

Penyembuhan

Setelah saya amati rekam jejak kronologis ini, berarti sejak pertama kali tepar pada awal 2013, hampir tiap tiga bulan saya kumat. Kemudian saya berpikir pasti ada yang tidak beres dengan salah satu sistem tubuh saya. Setiap kali pulang dari rumah sakit, dokter selalu menyarankan hal yang sama; makan teratur dan istirahatlah. Itu sudah saya jalani, plus mengonsumsi obat yang dokter berikan, tapi kok tetap saja.

Maka sebulan setelah keluar dari rumah sakit dan kondisi tubuh masih sangat lemah, saya putuskan untuk menjalani pijat refleksi. Diiringi minum jamu kunyit, telor ayam kampung dan ekstrak klorofil. Ternyata berhasil, kondisi tubuh berangsur-angsur pulih meskipun masih sangat rentan kambuh, terutama bila kecapekan dan kurang istirahat.

Obat-obatan dari dokter hanya menyembuhkan luka di lambung, bukan memulihkan masalah utamanya, yakni koslet pencernaan. Demikian terang terapis pijat yang kebetulan masih tetangga kampung itu. Setelah beberapa kali pijat dan kondisi tubuh lumayan kuat, saya putuskan untuk berangkat lagi ke Yogyakarta pada Juni 2014.

Dua minggu di Yogyakarta gerak saya sangat terbatas. Gampang sekali masuk angin, apalagi bila kena angin sore-malam. Berkeringat sedikit bisa membuat badan lemas seharian. Saya selalu usahakan tepat waktu makan, tapi setiap kali selesai makan pasti badan terasa berat dan ngantuk. Selama itu saya setia mengonsumsi mylanta atau promag jika sewaktu-waktu asam lambung kumat. Hampir dua hari sekali saya nenggak obat itu.

Beruntung, pertengahan Juni 2014 di Malioboro, dua minggu menjelang bulan puasa, saya dipertemukan seorang kawan dengan praktisi pola makan serasi. Beliau menyampaikan bahwa problem kesehatan yang saya alami adalah GERD (Gastroesophageal Reflux Disease), semacam gangguan asam lambung yang masih misterius. Banyak orang mengalami hal yang sama namun menganggapnya hanya sekedar maag biasa, padahal bukan. Gejala GERD bisa menyerupai gejala penyakit-penyakit lain, semisal sesak napas, nyeri lambung, keringetan di dahi dan telapak tangan, pening, vertigo, migrain, panas di dada, jantung berdebar kencang, dan lemah lesu akut.

Penyebab GERD berasal dari dua faktor, yakni fisik dan psikis. Ketidakseimbangan pola makan dan pola istirahat adalah faktor fisiknya, sedangkan stress pikiran dan berbagai beban mental maupun trauma menjadi faktor psikisnya. Karena GERD memiliki sebab fisik dan psikis, maka dampaknya pun mempengaruhi kondisi fisik dan psikis. Secara fisik, tubuh akan sangat rapuh, termasuk erosi di lambung dan usus dua belas jari yang saya alami, hanyalah akibat saja. Sedangkan secara psikis akan sangat labil, saya sampai tidak mau diajak keluar jauh-jauh oleh siapapun karena trauma pengalaman ambruk berkali-kali.

Untuk itulah, pertama, saya harus menata kembali kondisi psikis saya, membersihkannya dari tekanan-tekanan maupun pengalaman-pengalaman traumatik. Kemudian saya juga harus memperbaiki pola pikir tentang pemulihan, bahwa unsur pemulih paling utama adalah asupan yang setiap hari masuk ke dalam tubuh, yakni makanan.

Saya kira pola makan saya sudah beres. Ada nasi, sayur, telur atau daging, tahu tempe, minum teh manis, ditutup buah. Tiap malam minum susu untuk menambah asupan gizi. Ternyata itu semua salah kaprah. Memang asupan yang saya konsumsi mengandung nilai gizi yang baik, namun kombinasinya yang tidak tepat membuat asupan-asupan itu percuma. Justru semakin memperberat kerja pencernaan dan hanya menjadi investasi masalah-masalah kesehatan berat, cepat atau lambat.

Akhirnya saya mantap untuk mulai menjalani pola makan serasi yang dikenal dengan Food Combining. Selain dari penjelasan yang saya pahami saat di Malioboro, maupun buku-buku dan artikel tentang Food Combining, saya mulai sadar bahwa tubuh manusia dianugerahi kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri melalui nutrisi yang masuk ke dalamnya. Selain itu, masalah pencernaan seharusnya dipulihkan melalui pencernaan pula, yakni tata pola makan.

Pemulihan yang ditawarkan obat-obatan hanya bersifat temporer dan tidak menyeluruh, hanya menyembuhkan gejala tanpa memperbaiki sebabnya. Padahal, untuk pemulihan jangka panjang haruslah bersifat holistik. Semua faktor, baik fisik maupun psikis, harus digarap dengan baik. Mulai dari pola pikir, pola rasa, hingga pola makan. Salah seorang kenalan yang mengidap GERD berat, memulihkan kondisi tubuhnya dengan mengamalkan pola makan serasi ini hampir satu tahun dan sudah tidak kumat lagi.

Perbaikan Pola Makan

Prinsipnya, asupan yang dimakan diusahakan menjadi penyeimbang asam-basa di dalam tubuh, homeostatis. Untuk itu, menu yang disantap setiap hari harus serasi, tidak boleh ‘bertentangan’ atau justru memperberat kerja pencernaan. Misalnya, protein hewani semisal ayam goreng disantap bersamaan dengan unsur pati karbohidrat semisal nasi. Atau buah disantap setelah makan. Juga irama makan musti disesuaikan dengan sistem kerja pencernaan; yakni pagi-siang untuk pembuangan, siang-malam untuk pengolahan, malam-pagi untuk penyerapan. Penjelasan lengkap mengenai prinsip-prinsip dan pelaksanaan pola makan ini bisa dibaca di buku “Food Combining: Kombinasi Makanan Serasi” karya Andang Gunawan (Gramedia) atau “Food Combining Itu Gampang” tulisan Erikar Lebang (Qanita-Mizan).

15 Juni 2014, saya mulai mempraktekkan Food Combining. Pola makan ini bukan mazhab baru sebenarnya, ternyata prinsip-prinsipnya sudah dipraktekkan oleh orang-orang terdahulu, lintas wilayah maupun keyakinan agama.

Saya awali bangun pagi dengan minum segelas perasan jeruk nipis hangat, minuman yang sebelumnya saya anggap menyeramkan bagi pengidap gangguan lambung. Ternyata nyaman. Jam tujuh pagi, saya mulai sarapan dengan menu buah, sebutir apel. Jam sembilan, saya makan buah lagi, sebutir pir. Jam sebelas, saya ngemil sebutir jeruk.

Menu siang, jam setengah satu; semangkuk sayur, sepotong daging atau telur, dan dua iris tempe. Sorenya, kalau masih lapar, saya njajan siomay atau bubur kacang hijau tanpa santan. Menu malam, saya makan sepiring sayur, sekepal nasi dan beberapa potong tahu atau tempe. Kadang saya variasikan menu, siang lotek malam gado-gado. Intinya, pagi hanya konsumsi buah, perbanyak minum air putih, siang dan sore baru boleh makan seperti biasa, dengan catatan; harus ada sayur, menu protein protein hewani dipisah dari menu karbohidrat, porsi tidak sampai kekenyangan, kunyah sampai hancur betul, tidak tergesa-gesa.

Menu sayur dan protein tanpa unsur pati (nasi, karbohidrat)
Menu pemulihan semacam ini relatif terjangkau bagi anak kos semacam saya. Apalagi mengingat kekayaan negeri kita akan buah dan sayur-mayur. Dua hari melakoni pola makan ini, tubuh saya terasa tak karuan. Seminggu setelahnya, tubuh saya jauh terasa lebih segar. Obat-obatan sudah saya tinggalkan. Rokok sangat saya kurangi, es kopi teh susu sudah sangat asing bagi lidah saya. Sudah empat bulan saya tidak pernah nenggak Mylanta lagi. Kebugaran tubuh juga musti dijaga, maka dua hari sekali saya jalan-jalan cepat tiap pagi sepanjang 2-3 kilometer hingga berkeringat.

Meskipun masih ada rasa tidak nyaman pada tubuh di saat kondisi-kondisi tertentu, namun ini kemajuan yang pesat. Pada bulan Ramadhan kemarin pun, alhamdulillah, saya tetap bisa berpuasa dengan menyesuaikan pola buka dan sahur. Kegiatan di pondok secara bertahap mulai bisa saya ikuti, meski belum kuat melek malam untuk setoran. Delapan belas mata kuliah dengan empat puluh enam SKS yang sempat terbengkalai mulai bisa saya lunasi semester sembilan ini.

Memang, hal utama yang musti dibenahi selain pola pikir dan tata fisik adalah kesegaran jiwa. Beban pikiran dan trauma psikis musti dieliminasi terlebih dahulu. Pemulihan psikis, yang saya rasakan, jauh lebih susah ketimbang pemulihan fisik. Sikap tenang, tidak tergesa-gesa, dan keceriaan, adalah prasyarat agar tidak mudah kumat. Grogi, cemas, panik, galau, stress, dan tekanan-tekanan semacam itu sangat mudah memantik asam lambung dan kemudian berpengaruh pada kerja jantung, paru-paru, liver, dan organ dalam lainnya.

Kesehatan adalah nikmat yang seharusnya kita syukuri dengan cara yang benar. Saya berharap sedulur semua senantiasa sehat jiwa dan raga, asalkan jangan berlebihan dalam hal apapun sehingga bisa merusak keseimbangan alami yang sudah Tuhan anugerahkan.


~
Krapyak, Arafah 1435 / 4 Oktober 2014

3 Comments

  1. Mas, mau tanya apa mas ngejalanin FC nya tanpa minum obat dr dokter?

    ReplyDelete
  2. Luar biasa pengalamannya. Saya sangat terinspirasi dengan kisah Mas Zia. Kalau tidak keberatan saya mau konsultasi pribadi melalui WA atau sejenisnya bisa, Mas Zia??? Ini nomor saya 081294983139

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya