Oleh: @ziatuwel
Tiga hari ini, anak-anak KBQT sinau bersama para petani di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Mereka belajar mengenal dan merawat tanaman padi organik yang ditanam pada 6 Desember lalu. Mulai dari pengenalan terhadap jenis padi, pemahaman tentang kelola lahan organik, sampai terjun menyiangi/matun.
Praktek terjun ke sawah memang bukan barang baru di dunia pendidikan. Banyak sekolah yang mulai mengenalkan siswa-siswanya dengan dunia bercocok tanam. Entah berupa kunjungan ke sawah, atau juga pemanfaatan lahan-lahan di sekitar lingkungan sekolah untuk menanam.
Istimewanya, di KBQT kegiatan ini dilaksanakan relatif intensif. Contohnya dalam kegiatan matun ini, anak-anak didampingi menyiangi lahan selama tiga hari. Sambil mendapatkan penjelasan sekedarnya tentang proses penanaman hingga panen padi. Pekan depan saat kumpul kelas, pengalaman terjun ke sawah ini akan dielaborasi bersama pendamping, yakni tentang apa saja yang mereka pahami dan rasakan.
Bukan kebetulan, KBQT dan SPPQT sama-sama menyandang nama 'Qaryah Thayyibah' yang bermakna 'Kampung Sejahtera'. Komunitas belajar dan serikat paguyuban petani ini memang satu keluarga besar yang sama-sama menjunjung tinggi semangat keberdayaan dan kedaulatan. Jika SPPQT garapannya adalah berdaya dan berdaulat pangan, KBQT menggarap keberdayaan dan kedaulatan pendidikan.
Agenda terjun ke sawah tiga hari ini menjadi salah satu bentuk kedaulatan pendidikan KBQT. Mereka belajar memahami realita yang ada di sekitar mereka, dengan cara yang riil, serta waktu dan lokasi yang realistis pula. Keberlanjutan pembelajaran di sawah ini diwujudkan dalam bentuk praktek menanam di sekitar gedung Resource Center (RC) KBQT.
Setiap anak bertanggung jawab terhadap satu-dua pot berisi tanaman yang mereka tanam sendiri. Mereka siram dan rawat tiap hari hingga siap panen. Ternyata memang bagus hasilnya. Kulihat ada selada, tomat, bit, lombok, dan terong. Ke depannya, akan diberlakukan semacam sistem bengkok. Setiap anak tidak lagi bertanggung jawab terhadap satu pot, melainkan satu petak lahan kecil. Jika saatnya panen, bisa dibuat semacam 'panen raya' kecil-kecilan dan masak bersama dari hasil kebun mereka sendiri.
Belajar menanam bukan semata-mata agar semua anak menjadi petani. Melainkan menjadi pembelajaran efektif nan holistik mengenai banyak sisi, jiwa maupun raga. Anak-anak belajar tentang kesetiaan pada proses, kesabaran, teknik, kekecewaan, kepuasan, hingga keyakinan. Selain itu juga menumbuhkan penghargaan serta penghormatan terhadap para petani dan penggarap lahan.
Menjadi petani di zaman industrialisasi seperti saat ini bukan pilihan gampang. Belum lagi hegemoni prestis warisan kolonial dan orde baru yang mensubya-subya kaum priyayi. Belum lagi tren era milenial yang serba digital. Setidaknya, anak-anak perlu menyadari bahwa petanilah yang berjasa memproduksi kebutuhan dasar kita sebagai manusia, merekalah yang secara langsung berperan menopang keberlanjutan hidup kita.
Setelah agenda nyawah, aku sempat ngobrol sebentar dengan Pak Din. Ia begitu girang melihat foto anak-anak sedang menyiangi sawah, dan hendak menunjukkannya ke Dirjen PAUD dan PKBM yang sedianya mau berkunjung ke sini, tapi batal. "Beginilah proses belajar masa depan!" komentar Pak Din.
Kemudian ia menyinggung banyak hal tentang pertanian. Mulai dari potensi kesejahteraan petani dengan manajemen yang tepat. Panen padi organik di Kudus berlipat 350% dengan laba meningkat sampai 100 juta. Hingga adanya usulan kepada presiden tentang gaji bagi para petani penggarap.
Mengenai usulan gaji bagi petani ini, Pak Din berujar, "Di negara-negara maju ada semacam dana kesejahteraan khusus. Orang-orang nganggur pun dijatah uang bulanan. Nah, menggaji petani bukanlah menggaji orang nganggur. Sebab mereka bekerja secara riil, lelahnya riil, mikirnya juga riil, mereka berproduksi, produknya pun nyata dan dibutuhkan semua orang."
Ia mengisahkan pengalaman pendampingannya di sebuah desa di Flores Timur. Ketika dalam satu desa ada 150 kepala keluarga dengan 4000 hektar lahan yang mangkrak, tak ada yang menggarap. Sebab warga desa memilih jadi tenaga kerja ke luar negeri. Menggarap lahan -bagi mereka- tidak bisa diandalkan untuk hidup sejahtera.
_____
Sabtu 26 Januari 2019
Tiga hari ini, anak-anak KBQT sinau bersama para petani di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Mereka belajar mengenal dan merawat tanaman padi organik yang ditanam pada 6 Desember lalu. Mulai dari pengenalan terhadap jenis padi, pemahaman tentang kelola lahan organik, sampai terjun menyiangi/matun.
Praktek terjun ke sawah memang bukan barang baru di dunia pendidikan. Banyak sekolah yang mulai mengenalkan siswa-siswanya dengan dunia bercocok tanam. Entah berupa kunjungan ke sawah, atau juga pemanfaatan lahan-lahan di sekitar lingkungan sekolah untuk menanam.
Istimewanya, di KBQT kegiatan ini dilaksanakan relatif intensif. Contohnya dalam kegiatan matun ini, anak-anak didampingi menyiangi lahan selama tiga hari. Sambil mendapatkan penjelasan sekedarnya tentang proses penanaman hingga panen padi. Pekan depan saat kumpul kelas, pengalaman terjun ke sawah ini akan dielaborasi bersama pendamping, yakni tentang apa saja yang mereka pahami dan rasakan.
Bukan kebetulan, KBQT dan SPPQT sama-sama menyandang nama 'Qaryah Thayyibah' yang bermakna 'Kampung Sejahtera'. Komunitas belajar dan serikat paguyuban petani ini memang satu keluarga besar yang sama-sama menjunjung tinggi semangat keberdayaan dan kedaulatan. Jika SPPQT garapannya adalah berdaya dan berdaulat pangan, KBQT menggarap keberdayaan dan kedaulatan pendidikan.
Agenda terjun ke sawah tiga hari ini menjadi salah satu bentuk kedaulatan pendidikan KBQT. Mereka belajar memahami realita yang ada di sekitar mereka, dengan cara yang riil, serta waktu dan lokasi yang realistis pula. Keberlanjutan pembelajaran di sawah ini diwujudkan dalam bentuk praktek menanam di sekitar gedung Resource Center (RC) KBQT.
Setiap anak bertanggung jawab terhadap satu-dua pot berisi tanaman yang mereka tanam sendiri. Mereka siram dan rawat tiap hari hingga siap panen. Ternyata memang bagus hasilnya. Kulihat ada selada, tomat, bit, lombok, dan terong. Ke depannya, akan diberlakukan semacam sistem bengkok. Setiap anak tidak lagi bertanggung jawab terhadap satu pot, melainkan satu petak lahan kecil. Jika saatnya panen, bisa dibuat semacam 'panen raya' kecil-kecilan dan masak bersama dari hasil kebun mereka sendiri.
Belajar menanam bukan semata-mata agar semua anak menjadi petani. Melainkan menjadi pembelajaran efektif nan holistik mengenai banyak sisi, jiwa maupun raga. Anak-anak belajar tentang kesetiaan pada proses, kesabaran, teknik, kekecewaan, kepuasan, hingga keyakinan. Selain itu juga menumbuhkan penghargaan serta penghormatan terhadap para petani dan penggarap lahan.
Menjadi petani di zaman industrialisasi seperti saat ini bukan pilihan gampang. Belum lagi hegemoni prestis warisan kolonial dan orde baru yang mensubya-subya kaum priyayi. Belum lagi tren era milenial yang serba digital. Setidaknya, anak-anak perlu menyadari bahwa petanilah yang berjasa memproduksi kebutuhan dasar kita sebagai manusia, merekalah yang secara langsung berperan menopang keberlanjutan hidup kita.
Setelah agenda nyawah, aku sempat ngobrol sebentar dengan Pak Din. Ia begitu girang melihat foto anak-anak sedang menyiangi sawah, dan hendak menunjukkannya ke Dirjen PAUD dan PKBM yang sedianya mau berkunjung ke sini, tapi batal. "Beginilah proses belajar masa depan!" komentar Pak Din.
Kemudian ia menyinggung banyak hal tentang pertanian. Mulai dari potensi kesejahteraan petani dengan manajemen yang tepat. Panen padi organik di Kudus berlipat 350% dengan laba meningkat sampai 100 juta. Hingga adanya usulan kepada presiden tentang gaji bagi para petani penggarap.
Mengenai usulan gaji bagi petani ini, Pak Din berujar, "Di negara-negara maju ada semacam dana kesejahteraan khusus. Orang-orang nganggur pun dijatah uang bulanan. Nah, menggaji petani bukanlah menggaji orang nganggur. Sebab mereka bekerja secara riil, lelahnya riil, mikirnya juga riil, mereka berproduksi, produknya pun nyata dan dibutuhkan semua orang."
Ia mengisahkan pengalaman pendampingannya di sebuah desa di Flores Timur. Ketika dalam satu desa ada 150 kepala keluarga dengan 4000 hektar lahan yang mangkrak, tak ada yang menggarap. Sebab warga desa memilih jadi tenaga kerja ke luar negeri. Menggarap lahan -bagi mereka- tidak bisa diandalkan untuk hidup sejahtera.
_____
Sabtu 26 Januari 2019