Oleh: @ziatuwel
Siang tadi kami kedatangan tamu dari jajaran dosen Institut Agama Islam Bhakti Negara (IBN) Tegal. Hubbul wathon banget ya namanya, hehe. Mereka hendak melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bersama 180 mahasiswa dan 8 dosen bulan Februari besok di sini.
Hampir tiap pekan ada tamu berkunjung ke KBQT. Entah dari sesama instansi pemerintah, komunitas belajar, sekolah, kampus, atau perseorangan. Tujuan utamanya ingin tahu proses belajar di sini. Baru kemarin Senin, tamu mahasiswi-mahasiswi dari Australia juga berkunjung dan wawancara.
Pak Sobirin, selaku kaprodi PAI IBN, mewakili rombongan menyatakan bahwa inisiatif pelaksanaan KKL IBN di KBQT bukan tanpa pertimbangan. Mereka sudah mendengar reputasi Qaryah Thayyibah sebagai komunitas belajar kreatif yang perlu disinauni mahasiswa pendidikan. Uniknya, Pak Sobirin dkk menyatakan bahwa salah satu tujuannya adalah agar menginspirasi mahasiswa supaya kelak mau berkomunitas di tengah masyarakat, bukan hanya aktif di sekolahan yang monoton. Super sekali.
Setelah berbagi pengalaman tentang proses belajar merdeka ala KBQT, ada pertanyaan; "Bagaimana upaya yang dilakukan agar keinginan belajar anak itu tumbuh, tanpa disuruh?"
Mas Hanif selaku pendamping senior spontan menjawab, "Ya pokoknya apresiasi." Setiap anak pasti punya minat belajar, itu fitrah manusiawi. Masalahnya justru pada kita sebagai orang tua dan guru. Belum apa-apa, sudah dilarang. Begitu mereka menyatakan ide tidak diapresiasi.
Apalagi jika kita punya standar sendiri tentang apa yang musti mereka pelajari, bukan apa yang mereka minati. Itulah yang bisa membuat mereka down dan enggan belajar. Di KBQT, anak-anak merdeka memilih apa yang ingin mereka pelajari dan karya apa yang mereka buat, secara otomatis mereka akan bersemangat.
Secara alami mereka akan mengenali kemampuan sekaligus kekurangannya sejak dini. anak-anak membuat rancangan sendiri tiap Senin. Apa targetnya untuk satu minggu ke depan. Sekaligus evaluasi targetnya seminggu yang lalu. Ini pelajaran mahal pertama di KBQT, yakni tentang kesadaran diri.
"Lalu bagaimana para fasilitator mengkondisikan kegiatan anak-anak di KBQT?" tanya tamu kami.
"Ya anak-anak sendirilah yang mengondisikan kegiatan mereka," jawab Mas Hanif.
Memang seluruh kegiatan belajar di KBQT murni berbasis kesepakatan. Pendamping sekedar menemani mereka rembug dan menentukan agendanya. Tiap awal semester, mereka rembug membuat agenda yang akan dilakoni selama enam bulan ke depan. Itupun fleksibel, bisa berubah sesuai kondisi.
Budaya rembugan alias musyawarah ini -menurutku- menjadi pelajaran yang sangat mahal kedua di KBQT. Sebab betapa mengakarnya budaya disuapi di lembaga pendidikan kita sejak dini bahkan hingga dewasa. Semua diatur oleh guru, dosen, atau lembaga. Mulai dari siapa yang boleh belajar, apa yang dipelajari, kapan waktu belajar, dimana lokasi belajar, hingga bagaimana cara belajarnya.
Beberapa pekan belakangan, aku sedang mempelajari anatomi PTK. Suatu perangkat bagi para guru sebagai prasyarat naik jabatan atau golongan. Tergambar betul bagaimana guru harus membuatkan target yang sama bagi sekian puluh anak yang berbeda-beda. Lalu guru juga harus merancang rekayasa, bagaumana mengkondisikan anak agar mencapai target tersebut.
Dari hal ini kusadari ada perbedaan mencolok proses belajar KBQT dan di luar sana. Bahwa di sana, gurulah membuat rancangan target dan mengkondisikan anak mencapai target itu. Sedangkan di KBQT anak berlatih merancang targetnya sendiri, lalu bertanggung jawab melaksanakan apa yang sudah ia rancang secara personal maupun kolektif. Tugas pendamping -sebagaimana namanya, ya sekedar mendampingi.
Hanya sebentar tamu-tamu dari Tegal ini berbincang dengan kami. Sebab agendanya memang cuma pemberitahuan kunjungan KKL, lalu mereka lanjut ke Semarang. Untuk teman-teman dosen dan mahasiswa IBN, sampai jumpa besok Februari.
___
Kalibening, 23 Januari 2019
Siang tadi kami kedatangan tamu dari jajaran dosen Institut Agama Islam Bhakti Negara (IBN) Tegal. Hubbul wathon banget ya namanya, hehe. Mereka hendak melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bersama 180 mahasiswa dan 8 dosen bulan Februari besok di sini.
Hampir tiap pekan ada tamu berkunjung ke KBQT. Entah dari sesama instansi pemerintah, komunitas belajar, sekolah, kampus, atau perseorangan. Tujuan utamanya ingin tahu proses belajar di sini. Baru kemarin Senin, tamu mahasiswi-mahasiswi dari Australia juga berkunjung dan wawancara.
Pak Sobirin, selaku kaprodi PAI IBN, mewakili rombongan menyatakan bahwa inisiatif pelaksanaan KKL IBN di KBQT bukan tanpa pertimbangan. Mereka sudah mendengar reputasi Qaryah Thayyibah sebagai komunitas belajar kreatif yang perlu disinauni mahasiswa pendidikan. Uniknya, Pak Sobirin dkk menyatakan bahwa salah satu tujuannya adalah agar menginspirasi mahasiswa supaya kelak mau berkomunitas di tengah masyarakat, bukan hanya aktif di sekolahan yang monoton. Super sekali.
Setelah berbagi pengalaman tentang proses belajar merdeka ala KBQT, ada pertanyaan; "Bagaimana upaya yang dilakukan agar keinginan belajar anak itu tumbuh, tanpa disuruh?"
Mas Hanif selaku pendamping senior spontan menjawab, "Ya pokoknya apresiasi." Setiap anak pasti punya minat belajar, itu fitrah manusiawi. Masalahnya justru pada kita sebagai orang tua dan guru. Belum apa-apa, sudah dilarang. Begitu mereka menyatakan ide tidak diapresiasi.
Apalagi jika kita punya standar sendiri tentang apa yang musti mereka pelajari, bukan apa yang mereka minati. Itulah yang bisa membuat mereka down dan enggan belajar. Di KBQT, anak-anak merdeka memilih apa yang ingin mereka pelajari dan karya apa yang mereka buat, secara otomatis mereka akan bersemangat.
Secara alami mereka akan mengenali kemampuan sekaligus kekurangannya sejak dini. anak-anak membuat rancangan sendiri tiap Senin. Apa targetnya untuk satu minggu ke depan. Sekaligus evaluasi targetnya seminggu yang lalu. Ini pelajaran mahal pertama di KBQT, yakni tentang kesadaran diri.
"Lalu bagaimana para fasilitator mengkondisikan kegiatan anak-anak di KBQT?" tanya tamu kami.
"Ya anak-anak sendirilah yang mengondisikan kegiatan mereka," jawab Mas Hanif.
Memang seluruh kegiatan belajar di KBQT murni berbasis kesepakatan. Pendamping sekedar menemani mereka rembug dan menentukan agendanya. Tiap awal semester, mereka rembug membuat agenda yang akan dilakoni selama enam bulan ke depan. Itupun fleksibel, bisa berubah sesuai kondisi.
Budaya rembugan alias musyawarah ini -menurutku- menjadi pelajaran yang sangat mahal kedua di KBQT. Sebab betapa mengakarnya budaya disuapi di lembaga pendidikan kita sejak dini bahkan hingga dewasa. Semua diatur oleh guru, dosen, atau lembaga. Mulai dari siapa yang boleh belajar, apa yang dipelajari, kapan waktu belajar, dimana lokasi belajar, hingga bagaimana cara belajarnya.
Beberapa pekan belakangan, aku sedang mempelajari anatomi PTK. Suatu perangkat bagi para guru sebagai prasyarat naik jabatan atau golongan. Tergambar betul bagaimana guru harus membuatkan target yang sama bagi sekian puluh anak yang berbeda-beda. Lalu guru juga harus merancang rekayasa, bagaumana mengkondisikan anak agar mencapai target tersebut.
Dari hal ini kusadari ada perbedaan mencolok proses belajar KBQT dan di luar sana. Bahwa di sana, gurulah membuat rancangan target dan mengkondisikan anak mencapai target itu. Sedangkan di KBQT anak berlatih merancang targetnya sendiri, lalu bertanggung jawab melaksanakan apa yang sudah ia rancang secara personal maupun kolektif. Tugas pendamping -sebagaimana namanya, ya sekedar mendampingi.
Hanya sebentar tamu-tamu dari Tegal ini berbincang dengan kami. Sebab agendanya memang cuma pemberitahuan kunjungan KKL, lalu mereka lanjut ke Semarang. Untuk teman-teman dosen dan mahasiswa IBN, sampai jumpa besok Februari.
___
Kalibening, 23 Januari 2019