Edhi: Pria Miskin yang Mengoperasikan Layanan Ambulan Terbesar di Dunia

Oleh: @ziatuwel

Abdul Sattar Edhi adalah seorang filantropis (pegiat kemanusiaan) Pakistan yang legendaris. Meskipun ia miskin, tapi berhasil mendirikan Yayasan Edhi yang mengoperasikan rumah sakit, panti asuhan, penampungan tunawisma dan pusat rehabilitasi di seluruh Pakistan. Ia adalah salah satu tokoh paling dihormati di negara itu, dikenal sebagai “Malaikat Kasih Sayang” karena pelayanannya yang tanpa pamrih kepada orang sakit, miskin, dan dikucilkan.

Edhi lahir di India pada akhir tahun 1920-an, Edhi dibesarkan dan dididik oleh ibunya untuk menjadi welas asih terhadap orang yang kurang beruntung. Setiap kali sang ibu memberinya uang saku, ia selalu dipesan agar membagi dua uang sakunya itu, sebagian untuk dirinya sendiri, sebagian lagi untuk temannya yang membutuhkan.

Edhi menghabiskan masa remajanya untuk merawat ibunya yang lumpuh. Hal ini mendorong hasratnya untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang sakit. Saat muda, terpaksa pindah ke Pakistan setelah adanya pemisahan India-Pakistan, saat itulah dia menyaksikan kengerian perang dan penderitaan manusia sebagai dampaknya.

Tergerak oleh rasa sakit dan kesengsaraan yang meluas di sekitarnya, dia mulai memulai kegiatan sosial yang kelak menjadi Yayasan Edhi. Setelah memulai pekerjaan amalnya sendirian, lambat laun ia bertemu orang-orang yang sukarela membantunya untuk membangun rumah sakit dan panti asuhan di seluruh bagian Pakistan. Edhi adalah pekerja keras dan berpikiran terbuka, ia mempromosikan toleransi beragama dan mengadvokasi hak-hak perempuan untuk bekerja di luar rumah mereka.



Abdul Sattar Edhi lahir pada 1 Januari 1928, di Bantva, Bantva Manavadar, Gujarat, India (masih dalam persemakmuran Inggris) dalam keluarga Memon. Dari usia muda, ia dibesarkan untuk menjadi orang yang baik hati terhadap yang membutuhkan dan yang kurang beruntung. Ibunya menderita stroke dan menjadi lumpuh ketika bocah laki-laki itu berusia 11 tahun. Sejak saat itu, ia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk merawat ibunya. Pengalaman ini menyerap kepekaan dan empatinya pada orang sakit, gangguan mental, dan tidak mampu. Ibunya meninggal ketika dia berusia 19 tahun.

Pecahnya India-Pakistan terjadi pada tahun 1947, Edhi dan keluarganya bermigrasi ke Pakistan. Itulah saat yang mengerikan, banyak kekerasan dan kehancuran yang meluas dengan jutaan orang terbunuh. Edhi berhasil meloloskan diri ke Pakistan hidup-hidup, dia menghadapi perjuangan besar dalam membangun kembali kehidupannya di Karachi, Pakistan. Berusia sekitar 20 pada waktu itu, pemuda itu tidak punya uang dan miskin. Namun masalah pribadinya tidak menghalangi dia untuk bergabung dengan amal yang dijalankan oleh Memon, komunitas agama Islam yang mana keluarganya juga termasuk di dalamnya. Namun Edhi kecewa karena kegiatan amal Memon hanya melayani komunitas mereka saja, dan menolak orang lain yang berbeda.

Awalnya dia bekerja di sebuah toko grosir, kemudian menjadi penjual kain di pasar Karachi. Saat itulah ia menjadi sangat serius melayani orang sakit dan yang membutuhkan. Lalu ia mendirikan pusat medis kecil di mana ia memberikan perawatan kepada siapapun dan kapanpun, bahkan kepada mereka yang datang larut malam.




Pada tahun 1951, ia mendirikan Yayasan Edhi di Karachi untuk memberikan bantuan medis darurat 24 jam kepada yang membutuhkan dan fasilitas bersalin kepada para wanita tunawisma dan miskin. Wabah flu Asia merebak pada tahun 1957 dan Edhi menyadari kebutuhan mendesak untuk memperluas jasanya. Wabah tersebut merebak di Karachi, jumlah pasien bertambah dengan sangat sedikit dokter untuk melayani mereka. Bertekad untuk melakukan yang terbaik, Edhi mengemis sumbangan di jalan-jalan untuk mendanai pengobatan pasien dan meminta mahasiswa kedokteran untuk menjadi sukarelawan layanan mereka.

Saat itulah dia menerima sumbangan dari seorang pengusaha kaya yang membantunya membeli ambulans pertamanya. Selama tahun-tahun berikutnya, layanan tanpa pamrihnya menarik perhatian publik dan donasi pun mulai mengalir, memungkinkan dia untuk mendirikan beberapa rumah sakit, panti asuhan, tempat penampungan wanita, dan pusat rehabilitasi tidak hanya di Karachi, tetapi juga di kota-kota lain di seluruh Pakistan.

Ia berkeliling jalanan kota, memungut bayi-bayi terlantar. Sudah ada 35.000 bayi buangan yang diadopsinya. Ia juga mengurus jenasah yang dianggap sampah masyarakat. Menampung para janda miskin dan orang-orang jompo dengan layak. Pada tahun 2014, yayasannya pernah dirampok orang. Tak lama, perampok itu kembali untuk mengembalikan semua hasil rampokannya, sebab merasa tersiksa rasa bersalah karena telah mencuri dari yayasan orang yang sangat tulus.



Gerakan Edhi sudah menyebar di berbagai negara; Australia, Kanada, Uni Emirat Arab, Jepang, Inggris, hingga Amerika. Namun ia hanya menerima sumbangan dari orang-orang di Pakistan sendiri untuk kebutuhan sumbangan dalam negeri. Edhi menyatakan bahwa ‘Tidak ada agama yang lebih tinggi dari kemanusiaan’ dan membuktikannya dengan aksi nyata. Ketika ada golongan muslim radikal memprotes aksinya menolong orang-orang non-muslim dengan ambulannya, Edhi menjawab, “Ambulanku lebih Islam darimu.”

Edhi selalu terlibat dalam krisis kemanusiaan global yang terjadi. Ia mengirimkan bantuan medis maupun logistik ketika wabah kelaparan 1985 maupun Perang Teluk pada 1991. Pada 2006 ia menuju Lebanon untuk melayani para pengungsi, katanya, “Aku tak bisa hanya duduk santai sambil menonton kemanusiaan sekarat. Aku tak diciptakan untuk itu. Allah akan selalu menolongku.”

Ketika badai Katrina melanda New Orleans, Amerika, pada 2005, Edhi menyalurkan donasi 100.000 dolar untuk para korban. Ketika angin topan melanda warga Bangladesh, Edhi mengumpulkan donasi hingga 200.000 dolar. Sambil duduk di kursi roda, Edhi pernah memimpin pawai damai memprotes serangan Israel di Jalur Gaza. Edhi tinggal di apartemen kecil dengan dua kamar bersama istrinya. Pakaiannya hanya dua setel, dan makanan sehari-harinya sekedar roti dan acar.

Abdul Sattar Edhi mendirikan Yayasan Edhi yang saat ini menjalankan layanan ambulans terbesar di dunia (beroperasi 1.500 unit) dan menawarkan layanan darurat 24-jam. Juga mengoperasikan rumah sakit amal, panti asuhan, tempat penampungan tunawisma, tempat penampungan perempuan, dan pusat rehabilitasi bagi pecandu narkoba dan gangguan mental.

Abdul Sattar Edhi menerima Penghargaan Ramon Magsaysay untuk Pelayanan Publik pada tahun 1986. Dia juga menerima beberapa penghargaan internasional lainnya termasuk Lenin Peace Prize (1988), Paul Harris Fellow dari Rotary International (1993), penghargaan perdamaian dari USSR (1998), dan Balzan Internasional Prize untuk Kemanusiaan, Perdamaian dan Persaudaraan dari Italia (2000). Penghargaan nasional yang diterimanya termasuk Pakistan Civic Award dari Pakistan Civic Society (1992), Jinnah Award (1998), dan Bacha Khan Aman (Perdamaian) Award (1991). Dia dinominasikan beberapa kali untuk Hadiah Nobel Perdamaian.

Ketika terpilih sebagai kandidat peraih Nobel Perdamaian, ia hanya berkomentar biasa-biasa sambil mengatakan, “Saya ini hanya seorang fakir.” Ketika mendapatkan penghargaan kemanusiaan pada tahun 2000, Edhi berkata, "Penghargaan terbesar bagi saya adalah pancaran senyum dari wajah-wajah mereka yang menderita. Semua hadiah uang dari penghargaan-penghargaan ini hanyalah untuk menebarkan senyuman-senyuman itu. Saya sendiri tidak punya apa-apa, selain rumah kecil warisan ibu saya dan dua setel baju yang saya kenakan tiap hari.”

Abdul Sattar Edhi didampingi dan dibantu oleh istrinya, Bilquis, seorang perawat yang berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan yang sama seperti suaminya. Mereka menikah pada tahun 1965 dan dikaruniai empat anak. Edhi menjalani kehidupan yang keras dan menghindari segala macam publisitas. Meskipun menerima banyak penghargaan internasional, ia lebih suka menjauh dari pusat perhatian. Dia menderita gagal ginjal pada tahun 2013 dan kesehatan memburuk selama sisa hidupnya. Dia meninggal pada 8 Juli 2016 pada usia 88 tahun. Dia ingin menyumbangkan organ tubuhnya, tetapi karena penyakit yang dideritanya, maka hanya kornea matanya yang cocok untuk didonorkan.

Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif menyatakan hari berkabung nasional setelah kewafatan Edhi dan menyelenggarakan pemakaman kenegaraan baginya. Sepanjang sejarah Pakistan, hanya ada tiga orang yang dimakamkan dengan upacara kenegaraan. Yakni Muhammad Ali Jinnah pendiri negara Pakistan, Muhammad Zia Ul Haq presiden Pakistan ketiga, dan Abdul Sattar Edhi orang miskin paling kaya sedunia. Semoga Allah merahmati beliau dan mencerahkan batin kita semua sebab amal bakti beliau. Amin. [ziatuwel.com]

Video dokumenter tentang Abdul Sattar Edhi bisa ditonton di sini:

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya