"Perlu ada alat pengukur emisi karbon untuk memeriksa berapa takaran polusi yang dihasilkan setiap perabot listrik di rumah kita," tutur Yusuf dengan bersemangat.
"Kamu kan suka programming, bisa bikin alatnya nggak?" sahutku.
"Oh iya, sudah pernah bikin sih, tapi belum disempurnakan," jawabnya.
"Keren!"
Itulah salah satu ide yang dilontarkan para siswa kelas XI Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL) saat kudampingi ber-Hari Ide pada Rabu kemarin (15/5/2024). Kami, rombongan pascasarjana UNU Surakarta, diamanahi kampus untuk berkegiatan dengan putra-putri WNI yang ada di Malaysia ini.
SIKL adalah salah satu dari 13 sekolah Indonesia yang ada luar negeri, kurikulumnya pun disesuaikan dengan kurikulum nasional. Maka dalam acara hari itu kuajak mereka merdeka belajar. Kusajikan kegiatan yang menjadi ikon pendidikan memerdekakan ala Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah. Yakni menulis dan berbagi ide.
Karena durasi hanya sejam maka kegiatan kubuat padat. Pertama, kusinggung sekilas tentang urgensi bergagasan dan bernalar kritis. Kedua, para siswa menuangkan gagasannya dengan struktur; masalah dan solusi. Ketiga, setiap siswa membacakan hasil tulisannya di tengah forum.
Selain ide Yusuf, ide-ide siswa lainnya tak kalah cemerlang. Ada Farrel yang menyinggung kesenjangan sosial sehingga banyak orang cerdas tapi tak bisa mengakses fasilitas pendidikan maupun kesempatan berpolitik. Ada Rexanne yang meresahkan penyalahgunaan Artificial Intellegence buat nyontek. Ada Nayla yang mengajak jujur bersikap dalam sirkel pertemanan. Ada Hafiz yang mengusulkan "doodling method", yakni corat-coret kertas dengan tangan non-dominan, untuk mengurangi distraksi saat membaca buku. Dan banyak lagi.
"Ternyata menyadari masalah itu nggak mudah ya," komentar Axsel, "Apalagi memikirkan solusinya."
"Apalagi melakukannya!" sambar Damar.
"Tapi rasanya senang 'kan bisa menuliskan dan berbagi ide dengan orang lain?" tanyaku.
"Senaaang!" sahut mereka ceria.
___
Kuala Lumpur, 15 Mei 2024