Nasab Tuhan

Dulu, di awal masa dakwah, Kanjeng Nabi Muhammad pernah ditanya oleh orang-orang kafir, yang tentu saja lebih bernuansa hinaan ketimbang pertanyaan.

"Wahai Muhammad. Untuk apa semua ini? Kalau kau butuh harta, biar kami berikan! Kalau kau butuh wanita, biar kami pilihkan! Kalau kau gila, biar kami sembuhkan!"

"Tidak," sahut Kanjeng Nabi Muhammad, "Aku adalah utusan Allah, yang mengajak kalian untuk menyembah-Nya."

"Kalau begitu, coba terangkan! Tuhanmu itu seperti apa? Dia anak siapa?!"

Mendengar pertanyaan ini, Kanjeng Nabi agak emosi. Ketika dicaci-maki, beliau bisa sabar. Ketika dihina dan disakiti, beliau bisa tahan. Tapi kalau yang dilontarkan adalah hinaan kepada Gusti Allah, beliau naik pitam. Sampai-sampai Malaikat Jibril menghampiri dan menenangkan beliau sambil menyampaikan wahyu, berupa satu surah komplit yang berisi jawaban mutlak atas pertanyaan itu.

"Qul (wahai Nabi Muhammad, katakanlah) huwa Allahu ahad (Dialah Allah yang Esa, satu dan satu-satunya). Allahus shomad (Allah, sandaran dan tumpuan yang Mahaperkasa bagi segala yang ada). Lam yalid (yang tidak beranak) walam yulad (tak pula diperanakkan). Walam yakun lahu kufuwan ahad (dan tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya)."

Surah ini kemudian menjadi konsep dasar keimanan umat Islam tentang siapa tuhannya. Yang kemudian disebut surah Al-Ikhlas, surah At-Tauhid, atau disebut juga surah An-Nisbah karena menjadi respons atas pertanyaan tentang nasab Tuhan. Belakangan, almarhum Mbah Yai Maimun Sarang menyebutnya surah Delima/Dalima (dal lima), karena terdapat lima huruf dal di dalamnya.

Surah ini juga menjadi landasan berbangsa dan bernegara kita, yang tertuang menjadi sila pertama dalam Pancasila; Ketuhanan yang Mahaesa. Dahulu, ketika Orde Baru mewajibkan Pancasila jadi asas tunggal ormas, para kiai teras Nahdlatul Ulama bimbang, hingga akhirnya sowan berkonsultasi kepada kiai sepuh di Magelang.

Tak dinyana, kiai sepuh ini malah senang Pancasila dijadikan asas tunggal. Karena menurut beliau, kelima sila itu terlahir dari rahim ajaran Islam sejak mula. Kelima sila tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan, sangatlah selaras dengan ajaran Islam.

"Kalau seseorang bisa mengamalkan dua sila saja dari Pancasila, maka dia bisa jadi wali. Yaitu sila pertama (Ketuhanan yang Mahaesa) dan sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)," begitu dhawuh kiai sepuh tersebut, yang tak lain adalah almarhum Mbah Yai Hamid Kajoran.

Sebagai ajaran, surah ini menegaskan tiga hal, bahwa Gusti Allah itu sendiri dalam ketuhanan-Nya (ahad), mandiri dalam kekuasaan-Nya (shomad), serta merdeka dalam keberadaan-Nya (lam yalid walam yulad walam yakun lahu kufuwan ahad). Itulah konsep keyakinan kita tentang Tuhan. Konsep yang sederhana, tidak rumit, serta bisa dipahami semua akal jin dan manusia.

Sebagai bacaan, surah ini juga mengandung banyak khasiat. Salah satunya ketika seorang sahabat sambat kepada Rasulullah atas kefakiran dan kesulitan ekonomi rumah tangganya. Kemudian ia diberi resep oleh Rasulullah; sebelum masuk rumah, baca salam jika ada orang. Bila sepi, tetap baca salam untuk diri sendiri, dalam riwayat lain; baca salam kepada Nabi sebagaimana bacaan dalam tahiyat. Lalu baca surat Ikhlas satu kali. Baru kemudian masuk rumah.

Setelah beberapa waktu mengamalkan 'resep antifakir' dari Rasulullah ini, kebutuhan rumah tangganya pun tercukupi, bahkan meluber kepada tetangga-tetangganya. Sanad hadits ini dhaif, tapi tetap boleh diamalkan.

Wallahu a'lam.



___

*Disarikan dari Tafsir Mafatihul Ghaib li Fakhriddin Ar-Razy. Disampaikan dalam ngaji Ahad Kliwon bakda subuh, bersama jamaah masjid Al-Hikmah Pandansari, Nyamat, Tengaran, 11 Agustus 2024/6 Sapar 1446.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya