Pendidikan Spiritual
Nusantara
Sejarah
pendidikan Indonesia tak lepas dari spiritualisme. Sejak zaman Hindu-Buddha
hingga Islam, bentuk pendidikan di Nusantara cenderung kepada model pemupukan
karekter dalam wadah padepokan dan diteruskan oleh pesantren. Namun di bawah mendung
penjajahan, wadah pendidikan semacam itu diisolasi dari kekuasaan karena
dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan kolonial. Sehingga ia terus menerus
ditekan agar makin kerdil dan terabaikan.
Pada
mulanya, pendidikan Nusantara berorientasi pada pembinaan moral serta pelatihan
profesi praktis bernuansa maritim dan agraris. Tetapi kemudian terjadilah
perubahan arah menuju industrialisasi dalam segala aspek kehidupan yang
berkiblat pada peradaban Eropa, tak terkecuali dalam ranah pendidikan. Maka mulailah
terbentuk institusi-institusi pendidikan yang berfungsi sebagai pabrik tenaga
kerja kolonial. Pendidikan bagi pribumi hanyalah alat untuk melanggengkan
imperialisme Eropa di Nusantara.
Pada
akhirnya, meskipun imperialisme klasik runtuh sebab atmosfer global yang begitu
liar, pengaruh penjajahan tetap membekas hingga saat ini. Bentuk pendidikan
peninggalan kompeni sudah dilembagakan menjadi alat pelestarian penjajahan
modern. Bung Karno menyebutnya sebagai NEKOLIM; neo kolonialisme dan
imperialism.
Dalam
bentuk warisan penjajah ini, institusi pendidikan tidak lagi mencirikan
karakter Nusantara. Ia hanya tempat pengisian individu dengan wawasan sekaligus
alat pacu dalam persaingan ekonomi global. Pendidikan karakter yang digaungkan
sejak dahulu hingga kini hanya formalitas tanpa bekas. Proses pengendapan
nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan yang dahulu berlangsung secara alamiah
melalui interaksi antara guru dan murid kini tak ada lagi. Proses ini
diformalkan sedemikian rupa sehingga menjadi mata pelajaran – mata pelajaran
kognitif belaka.
Interaksi
efektif multidisiplin antara peserta didik dengan realita lingkungan pun
diputus oleh sistem persekolahan eksklusif yang membutakan. Bahkan parahnya,
hak pendidikan yang dibawa lahir oleh semua anak bangsa dirampas oleh
komersialisasi busuk pendidikan modern.
Pendidikan formal modern hanya
menjadi wahana pembodohan dan penindasan terselubung yang dimaklumi secara
kolektif. Sementara itu, pendidikan integratif ala padepokan-pesantren menjadi
makin termarjinalkan. Ia tersingkir baik oleh kejamnya himpitan ldari luar
maupun merebaknya keminderan dari dalam.
Mutu Tinggi Pesantren
Keunggulan sistem pendidikan
pesantren begitu banyak, jauh di atas sistem pendidikan modern. Konsep
keteladanan yang dicirikan dengan sosok 'kiai' sebagai pengasuh adalah hal yang
tidak dimiliki sekolah sekuler modern. Hal penting yang musti digarisbawahi
adalah bahwa posisi ‘kiai’ bukan sebagai ‘dewa’ penentu hidup mati santri. Melainkan
sebagai teladan dalam unsur pendidikan karakter. Maka, memang, semestinya sosok
kiai memahami betul tugasnya.
Konsep full-day education yang
kini banyak diterapkan sekolah-sekolah unggulan sudah dipraktekkan oleh
pesantren sejak dahulu. Pendidikan karakter tak bisa dicapai dengan satu sampai
dua jam mata pelajaran saja, ia butuh kesinambungan dan pembiasaan dalam
keseharian, sejak bangun tidur hingga pejam lagi di pembaringan. Pesantren sudah
menyediakan itu semua.
Konsep pendidikan dialektis
pedagogik sudah mengakar dalam budaya pesantren berupa model pengajian sorogan
maupun diskusi ilmiah (bahtsul masa-il). Dalam proses ini, santri mengalami
berbagai macam aspek pendidikan pedagogik; penggalian sumber pengetahuan secara
mandiri, presentasi hasil kajian, diskusi maupun perdebatan ilmiah, serta kontrol
korektif dari pembimbing. Metode pembelajaran semacam ini baru disadari dan
mulai digalakkan belakangan ini di sekolah-sekolah pemerintah.
Dan hal yang tak kalah penting
adalah respon pesantren terhadap realita lingkungan. Ini sudah menjadi jiwa
pesantren sebagai basis spiritualitas masyarakat. Pembauran kehidupan
masyarakat dengan pesantren adalah hal yang niscaya sejak dahulu, hal ini sama
sekali tak dimiliki sekolah pemerintah.
Melihat berbagai keunggulan
faktual di atas, maka sudah barang tentu model pendidikan bermutu tinggi ini
dipertahankan kelangsungannya di bumi pertiwi. Namun harus tetap bisa
berkesesuaian dengan perkembangan zaman tanpa harus kehilangan jati diri.
Sayangnya, lembaga pendidikan
tua bernama pesantren salaf ini mengalami krisis identitas akibat dua faktor:
tekanan luar dan kekeroposan dalam. Tekanan dari luar tidak bisa dihindari
seiring berkembangnya realita zaman global. Berarti kondisi dalamlah yang
semestinya diperbaiki agar tak keropos. Karena kerapuhan jati diri menyeret
warga pesantren ke dalam jurang keminderan yang berbahaya.
Nah, bentuk respon pesantren
terhadap laku zaman terbagi dua. Pesantren yang masih bertahan dengan
idealismenya dan menolak modernitas system justru menjadi terasing di tengah
atmosfer kehidupan modern. Sedangkan pesantren yang mencoba menyesuaikan diri
dengan pola pendidikan materialistis menjadi kikis jatidirinya.
Keadaan seperti ini menjadikan
pesantren tak lagi menjadi prioritas utama pendidikan masyarakat. Pendidikan
materialistis yang dipromosikan secara massif mengajak masyarakat meninggalkan
pendidikan kerakyatan ala pesantren. Sehingga pesantren dicitrakan hanya
sebagai sekolah penghasil tukang khotbah. Ini adalah suatu penyempitan fungsi
sosial yang sangat parah bila mengingat betapa agungnya proses pendidikan ala
pesantren.
Banyak pesantren yang latah
mengadopsi pendidikan formal ke dalam lingkungan pesantrennya atas dasar
tuntutan masyarakat. Didirikanlah sekolah umum di dalam pesantren, mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Fenomena ini jika tidak dikawal dengan
sungguh-sungguh akan menghasilkan dampak berbahaya; alumni yang ‘ala kadarnya’
(yang penting berijazah sekolah formal) dan kehilangan karakter pendidikan khas
pesantren. Kalaupun bagus, pasti mahal.
Menurut saya, pesantren salaf
tak perlu ikut-ikutan latah mendirikan sekolah formal di dalam lingkungannya.
Tak usah terkungkung kurikulum pemerintah dengan mengikuti sistem pendidikan
amburadul yang setiap tahun diuji coba itu. Toh pesantren sudah memiliki sistem
pendidikan yang top dan lestari.
Konsep Sekolah Rakyat
Jika pesantren salaf ingin
menyesuaikan diri dengan roda zaman, maka jangan terjebak pola pikir
materialistis ala sekolah sekuler yang menjadikan sekolah sekedar mengejar
ijazah. Pesantren harus tetap memfokuskan pendidikan pada penguasaan ilmu dan
pemantapan karakter. Sistem tetap dipertahankan, tinggal dimasukkan
materi-materi pelajaran umum yang perlu diajarkan.
Pelajaran moral dan agama
sudah menjadi makanan pokok yang tidak hanya dipelajari, tetapi juga diamalkan
dalam keseharian santri. Tinggal diimbuhi materi-materi pelajaran ‘umum’ yang dipakai
dalam pergaulan oleh dunia global.
Pesantren tetap mempertahankan
sistem boarding/full day education dengan asrama pondok dan keteladanan kiai
sebagai ciri khasnya. Pesantren tidak usah mendirikan sekolah formal dengan
gedung dan kurikulum ala pemerintah. Sebagai gantinya, cukup menyelenggarakan
‘Sekolah Rakyat’ sebagaimana tertera di bawah ini. Model pendidikan semacam ini
bukan hal yang aneh sebenarnya, karena sudah dipraktekkan para ulama pada masa keemasan
Islam era Abbasiyyah.
Saya punya oret-oretan
pelaksanaan Sekolah Rakyat yang 'murah' tapi tak murahan seperti ini;
1.
Pesantren menggelar Sekolah
Rakyat dengan infrastruktur yang sudah ada berupa masjid, serambi, ataupun
aula.
2.
Sekolah Rakyat yang dimaksud
diperuntukkan bagi jenjang sekolah menengah.
3.
Setiap kelas (kelompok
belajar) hanya berisi 10-15 murid saja, dibimbing satu pembimbing.
4.
Pesantren menyediakan waktu
3-4 jam dalam satu hari untuk diisi satu saja mata pelajaran umum yang
dipelajari di sekolah-sekolah sekuler, kecuali mata pelajaran agama.
5.
Mata pelajaran pokok
meliputi Bahasa, Logika, Matematika, Sains, Sejarah, dan Seni.
6.
Pembelajaran dilaksanakan
dengan metode ‘sorogan’ (dialektis pedagogik) ala pesantren.
7.
Pembimbing di setiap kelas
diambilkan dari mahasiswa-mahasiswa sukarelawan di jurusan-jurusan mata
pelajaran yang diampu. Sehingga tiap periode bisa berganti-ganti pengajar.
Pertimbangan ini memberikan pengalaman dinamisme tenaga pengajar dan metode
yang selalu segar.
8.
Di akhir periode
pembelajaran (semester) dilaksanakan ujian dengan standar sekolah pemerintah
sebagai tolak ukur minimal. Untuk urusan ijazah, kalau masih diperlukan, bisa
diikutkan ujian paket ala sekolah terbuka.
Adapun kerangka Konsep
Sekolah Rakyat adalah;
A.
Bentuk Persekolahan
1. Integrasi
Pesantren-Masyarakat
Pelaksanaan Sekolah Rakyat
jelas berpusat di pesantren dan mengandalkan kemandirian sosial masyarakat. Tenaga
pembimbing ditawarkan secara sukarela kepada masyarakat daerah, terutama
mahasiswa.
2. Jenjang Menengah (5
Tahun)
Pendidikan ini setara
dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang
dipersingkat menjadi 5 tahun saja. Yakni 2 tahun untuk menengah pertama, 2
tahun untuk menengah atas, dan 1 tahun untuk penggalian minat serta pengarahan
keberlanjutan.
3. Pelaku Pendidikan
Siswa berasal dari
santri-santri pesantren salaf yang berminat mengikuti pendidikan Sekolah
Rakyat. Tentu dikerjasamakan dengan pengasuh dan para ustadz. Adapun pembimbing
ditawarkan kepada volunteer (sukarelawan), yakni anak-anak muda yang memiliki basic
spesialisasi mata pelajaran tertentu. Masa membimbing cukup satu tahun saja,
dan jatah membimbing cukup satu kali dalam sepekan agar tidak membebani.
Kecuali jika ada kondisi-kondisi tertentu yang bisa mendatangkan guru tetap.
B.
Kurikulum
1. Makki-Madani
Tahun-tahun awal (2 tahun)
diisi dengan materi berpola ‘makki’, yakni pemantapan pola pikir, logika sehat,
dan penegasan karakter lokal nusantara. Tahun-tahun berikutnya (2 tahun)
digunakan pola ‘madani’ dengan lebih banyak mendiskusikan tema-tema pelajaran,
memancing daya kritis dan respon terhadap realita dalam berbagai mata pelajaran.
2. Logika, Bahasa, Sejarah,
Sains, Seni
Mata pelajaran yang dibahas
di Sekolah Rakyat sesuai dengan mata pelajaran sekolah pemerintah di jenjang
menengah.
Logika : Matematika
Bahasa : Indonesia, Inggris, Jawa
Sejarah : Nusantara, Internasional, Islam
Sains : Geografi, Sosiologi, Biologi, Fisika,
Kimia
Seni : Rupa, Musik, Sastra
Dari lima kelompok mata
pelajaran tersebut, setiap hari –hanya- diajarkan satu mata pelajaran saja,
dengan durasi 3-4 jam. Pembelajaran dilaksanakan lima hari dalam seminggu, satu
hari diluangkan untuk refreshing (pentas karya, wisata studi, atau lainnya),
dan satu hari (jum’at) untuk libur.
Th I : Matematika, Bahasa Indonesia, Sejarah Nusantara, Seni
Rupa, Sains
Th II : Matematika, Bahasa Inggris, Sejarah
Internasional, Seni Musik, Sains
Ujian Paket B
Th III : Matematika, Bahasa Indonesia, Sejarah Nusantara,
Seni Musik, Sains
Th IV : Matematika, Bahasa Inggris, Sejarah Internasional,
Seni Sastra, Sains
Ujian Paket C
Th V : Sejarah Islam, Bahasa Jawa, Seni Sastra, Studi Kasus Lokal
& Global
Pengarahan Minat
C.
Konsep Pembelajaran
1. Dialogis Pedagogik –
Sorogan
Model pembelajaran dalam
kelas terbatas ini melalui konsep dialogis antara guru dan murid. Lebih mengedepankan
faktor nalar dan daya kritis. Mengimbangi model pendidikan agama yang cenderung
doktriner. Juga menggunakan metode ‘sorogan’ ala pesantren, yang mengunggulkan
faktor dialog, presentasi murid, dan sifat korektif guru.
2. Evaluatif
Setiap pertemuan
dilaksanakan evaluasi. Dalam satu hari hanya satu mata pelajaran, sehingga
memudahkan guru dan murid untuk melaksanakan evaluasi setiap pertemuan terhadap
pencapaian materi pada pertemuan sebelumnya.
3. Optimalisasi
Teori-Praktek
Durasi tiga jam, metode
diskusi, serta konsep integrasi pesantren-masyarakat-lingkungan memudahkan
peserta didik untuk tidak sekedar menadah teori, tetapi juga mempraktekkannya di
alam nyata.
D.
Infrastruktur
Sekolah-sekolah pemerintah
menuntut adanya gedung, meja kursi, lemari, rak, laboratorium, lapangan, dan
berbagai perabot lainnya. Sekolah Rakyat tidak terkungkung pada hal-hal
sekunder itu. Ruang belajar bisa dimanapun. Buku tulis, papan dan kapur, bisa
diusahakan dengan pemanfaatan yang optimal.
Alat peraga, laboratorium
dan lapangan sudah disediakan oleh alam lingkungan. Untuk fasilitas yang
terlalu mewah ala sekolah-sekolah mahal, sebenarnya belum terlalu dibutuhkan
untuk sekolah menengah, masih bersifat tersier saja.
E.
Keberlanjutan
Setelah menjalani pemapanan
pola pikir, spiritualisme, kebangsaan dan universalisme selama empat tahun,
maka pada tahun terakhir murid dibimbinguntuk membaca minat dan bakatnya
sendiri.
Langkah selanjutnya
ditentukan oleh siswa sendiri. Apakah dia mau melanjutkan mendalami agama
secara lebih fokus, ataukah mau melanjutkan pendidikan umum lainnya. Di sini,
lembaga pengelola Sekolah Rakyat harus menyediakan jendela informasi selebar mungkin
tentang beasiswa dan berbagai macam fasilitas kemudahan pendidikan yang
ditawarkan pemerintah.
Jadi, tugas utama Sekolah Rakyat
adalah;
Ø
Menyelenggarakan pendidikan pedagogik yang murah dan bermutu
Ø
Membangunkan kepercayaan diri siswa bersama minat dan
bakatnya
Ø
Menyediakan informasi & upaya pendidikan lanjutan yang
bisa diakses siswa
Pelaksanaan model pendidikan
ini menyesuaikan kondisi pesantren. Pemanfaatan interaksi kreatif antara
pesantren, murid, pembimbing, dan lingkungan lebih diutamakan daripada tetek
bengek infrastruktur pendukung yang sering direpotkan sekolah-sekolah
pemerintah. Sehingga proses pendidikan akan lebih efektif dan efisien dari segi
waktu, tenaga maupun dana karena telah memangkas berbagai faktor sekunder serta
tersier.
Adalah sebuah mimpi besar
memosisikan kembali pesantren pada kursi primer. Namun itu bukan tujuan
utamanya. Sekurang-kurangnya ada harapan untuk bisa mewujudkan model pendidikan
kerakyatan ala pesantren, murah dan bermutu. Sambil memanipulasi agar pesantren
salaf tidak minder dan kikis jati dirinya.
Bukan suatu dosa untuk
bermimpi. Keadaan masa silam yang menyisakan sampah di masa kini adalah alasan
yang tepat untuk tidak mewariskannya di kemudian hari. Berkonsep juga bukan hal
yang tabu, entah kelak terwujud atau tidak. Setidaknya, ia menjadi ikatan
konsekuensi yang menuntut dilakukannya realisasi angan-angan secara konkrit.
Sesederhana, sekecil, dan sesempit apapun.
Untuk penjabaran konsep di
atas, perlu penggodokan lebih matang lagi dengan menelaah literatur dan
mengamati realita, serta -tentunya- diskusi mendalam dengan berbagai kalangan.
Bismillaah.
~
Zia Ul Haq | Siswa di Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Tegal-Yogya,
21/2 – 13/4, 2014