Enam Ribu Anak Tangga

Simak Aku, di Ar-Rahman
Puluhan pemuda komat-kamit sambil bersila, ada yang berpasangan, berkelompok, atau sendirian saja. Itulah pemandangan yang akan kau lihat di Komplek Madrasah Huffadh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pemandangan khas sebagaimana pesantren para penghapal Al-Qur’an pada umumnya.

Konon, tahfidh berarti ‘proses menghapal’, dari kata hafidha yang bermakna ‘menjaga’. Meskipun secara literal seorang penghapal sedang menjaga ayat-ayat suci, sejatinya si penghapal itulah yang sedang dijaga oleh ayat-ayat yang dihapalnya. Setidaknya antara dirinya dengan kedurhakaan ada pembatas berupa rasa malu dan segan.

Kitab Suci umat Islam ini mungkin satu-satunya teks reliji yang semarak dihapalkan oleh penganutnya. Menghapalkan setiap huruf dalam sejilid buku setebal kurang-lebih 300 halaman tentu bukan tugas sepele. Terbagi dalam 6.324 ayat, 30 bagian (juz) dan 114 judul surat. Apalagi jika sudah menapaki level 7 model bacaan (qira-at), lebih susah lagi, katanya.

Apa manfaat menghapal Al-Qur’an? Apa khasiatnya? Gunanya apa? Cari tahu sendiri!

Yang jelas, setiap penghapal yang melakoni proses dengan rela akan merasakan kebahagiaan tiap hari. Bagaimana tidak, seseorang duduk berjam-jam mencoba merekam bacaan dalam memori, kemudian malam harinya ia setorkan hapalan itu kepada gurunya. Kebahagiaan tak terperi membuncah setiap kali selesai setoran itu. Seakan telah berhasil menjalani satu misi kecil. Lalu bersiap menjalani misi lain keesokan hari.

Kebahagiaan yang sederhana.

Para penghapal melakoni metodenya masing-masing dalam proses tahfidh (menghapal). Tergantung kemampuan dan atmosfer di mana dia menghapalkan. Di Madrasah Huffadh ini termasuk lembaga yang ‘bebas-kreasi’ dalam urusan menghapal. Kau bisa memilih metode apapun asalkan mampu. Namun tetap ada jadwal rutin untuk setor hapalan kepada Tuan Guru.

Ada yang mengulang-ulang setiap ayat sepuluh kali. Ada yang merekam bacaannya sendiri kemudian didengarnya berulang-ulang sambil jalan-jalan. Ada yang memilih pagi hari, adapula yang lebih suka tengah malam. Macam-macam.

Di antara kawan-kawan Madrasah Huffadh, ada yang berhasil menghapal dalam waktu tujuh bulan. Ada yang satu tahun. Ada yang tiga tahun, berarti setahun sepuluh juz. Ada yang lima tahun. Bahkan ada yang satu tahun satu juz, setelah lima tahun dia baru dapat lima juz. Keren, ‘kan?

Semua pencapaian itu tergantung kedisiplinan dan konsistensi si santri sendiri. Sebetapapun ampuh metode yang dipakai, kalau tak disiplin, tetap tak berefek. Saya termasuk orang yang susah disiplin. Dan itu tantangan.

Logisnya, jika kau mau duduk satu jam setiap ba’da Maghrib sampai ‘Isya, dan bisa menghapal satu halaman saja setiap hari, maka seluruh Al-Qur’an bisa kau selesaikan dalam waktu 600 hari atau sekitar dua tahun. Kalau sehari satu lembar, cukup satu tahun kau khatamkan.

Namun perhitungan semacam itu takkan pernah selaras dengan realita jika kau tak bisa mengatur diri. Maka proses tahfidz sejatinya adalah pelatihan manajemen diri. Kau harus bisa mengatur kapan kau membuat hapalan baru, kapan kau mengulangi hapalan, kapan kau memperbaiki hapalan yang kendor, dan tentunya; kapan kau melakukan aktivitas-aktivitas lain sebagai makhluk duniawi dan sosial.

Awalnya, saya kira tahfidz adalah kegiatan akal belaka. Karena ia mengandalkan kemampuan memori untuk menghapal berupa konsentrasi. Ternyata salah. Tahfidz al-Qur’an –sebagaimana saya saksikan pada diri kawan-kawan Madrasah Huffadh adalah suatu Riyadhah Bathiniyyah. Kau bisa duduk berjam-jam hanya untuk menyetorkan satu lembar hapalan. Suatu langkah penataan batin yang kokoh dan pelatihan jiwa dalam berbagai aspek; kesabaran, ketenangan, tanggung jawab dan optimisme.

Tuan Guru pernah menyampaikan bahwa menghapal Al-Qur’an adalah anugerah. Siapa yang tidak amanat terhadap anugerah berharga ini, dengan melalaikannya, maka dia berdosa besar. Selain itu, tak semua orang mendapat anugerah ini. Maka berapapun ayat yang dicapai, khatam atau tidak, jagalah!

Bilapun ternyata tak tertakdir menjadi penjaga ayat-ayat suci setelah jatuh bangun melakoni proses tahfidh, nanti anakmu yang akan dianugerahi. Kalau tidak anakmu, ya cucumu. Bila bukan cucumu, ya buyutmu. Atau, tetanggamu. Begitu pesan Tuan Guru.

Ya, meskipun memompa kemampuan akal untuk mengejar target khataman itu penting, pemaknaan rialat batin inilah yang lebih penting. Idealnya, seorang penghapal akan bersikap wajar terhadap segala fenomena kehidupan, tenang. Ia tidak terburu-buru dalam berbagai keputusan, dan jauh dari keputusasaan dalam hal apapun. Tak masalah kau dapat hanya satu ayat setiap hari, asalkan konsisten. Daripada kau meraih setengah juz sehari tapi beberapa bulan tak ada tambahan lagi. Kemudian kau jumawa. Wah, itu malah bahaya.

Mendaki enam ribu anak tangga tentu melelahkan. Di langkah-langkah awal mungkin begitu menggebu, nanti sampai pertengahan penat terasa begitu berat. Ada yang lanjut ada yang tumbang. Ada yang duduk istirahat sementara, ada yang lama.

ِAda tantangan di setiap fase tangga. Terutama bagi mereka yang beraktivitas lain di luar menghapalkan. Ada yang mengalami problem ekonomi di Surah al-Baqarah, di Surah an-Nisa galau karena wanita, adapula yang disambangi lelembut ketika sampai di Surah Jinn. Entahlah.

Dan ketika sampai di puncak anak tangga, kepuasan tak terlukiskan. Khatam.

Namun khatam mendaki enam ribu anak tangga hanyalah titik awal. Setelahnya masih ada perjalanan panjang yang terbentang. Ada proses menjaga agar hapalan yang telah dikhatamkan tak lepas. Ada proses memahami agar hapalan yang dijaga tak sekedar jadi mantra pemanis lisan. Ada proses menghayati agar ayat-ayat yang dipahami bisa meresap. Dan ada proses mengamalkan agar setiap untai ayat suci itu mendarah daging, rindang dan berbuah.

Maka sejatinya, prosesi wisuda Al-Qur’an bagi para penghapal adalah di kala maut menjemput.

خذوا ما أتيناكم بقوة واذكروا ما فيه لعلكم تتقون

"Ambillah apa yang Kami datangkan kepadamu dengan sekuat tenaga. Dan ingatlah apa yang ada di dalamnya agar kalian bertakwa." [Al-Qur'an]

Mendaki - Imogiri

Naik mendaki memang bikin lelah, kadang tergoda 'tuk menyerah.
Tapi, bukankah lebih baik mati dalam upaya, daripada hidup tanpa makna?
~
Tuwel, 25 Maret 2014

3 Comments

  1. Replies
    1. menjalani tugas, mungkin ini salah satu jawaban atas pertanyaan sampean pak. hehe

      Delete
  2. "Sebetapapun ampuh metode yang dipakai, kalau tak disiplin, tetap tak berefek"

    Ya.. setuju!... Istiqomah.. memang susah..

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya